OPINI: BUMN Beranak Pinak, Siapa Untung, Siapa Buntung?
Oleh: Rahmawati, S.Pd.
(Guru SMA di Kota Palopo)
BADAN Usaha Milik Negara (BUMN), kembali disorot publik. Kali ini yang disorot bukanlah seputar ancaman kerugian dari perusahaan tersebut melainkan sekaitan dengan anak, cucu, bahkan cicit dari BUMN.
Jika makhluk hidup yang beranak pinak tentu adalah hal yang wajar tapi kalau BUMN, tentunya banyak menimbulkan pertanyaan dari masyarakat.
Kasus ini sendiri mencuat setelah Dirut Garuda dan empat direksi perusahaan pelat merah tersebut diduga terlibat dalam penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Bromton.
Pengamat BUMN Toto Pranoto menjelaskan membengkaknya pertumbuhan anak-cucu perusahaan BUMN terjadi karena adanya kelalaian dalam pengelolaan BUMN.
Dia bilang, sejak dulu pemerintah abai terhadap regulasi perizinan pembentukan anak-cucu perusahaan BUMN.
“Dulu tidak ada regulasi spesifik yang mengatur soal itu, baik itu dalam UU No.19/2003 tentang BUMN, maupun dalam Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri BUMN,” ujar Toto kepada detik.com, Jakarta, Jumat (13/12/2019).
“Mungkin Kementerian BUMN masa lalu tidak fokus terhadap dampaknya yang sebagian besar merugikan. Mungkin mereka sudah pusing memikirkan 140 induk perusahaan BUMN yang ada, sehingga abai terhadap kinerja anak-cucu perusahaan BUMN lainnya,” katanya.
Ketua Koordinator BUMN Watch Naldy N Haroen SH menjelaskan pada awalnya tujuan dibentuk anak cucu perusahaan itu sangat bagus, yakni meningkatkan efisiensi dan mendapatkan keuntungan bagi Negara.
Tapi pada kenyataannya anak cucu perusahaan BUMN itu justru menjadi lahan untuk mencari keuntungan pribadi dari direksi induk perusahaannya.
Masih menurut Naldy, dari dulu pihaknya menemukan banyak anak cucu perusahaan BUMN yang melakukan monopoli usaha. Perilaku seperti itu bisa menyulitkan perusahaan swasta untuk berkembang.
Menurut catatannya, saat ini terdapat sekitar 600-700 anak cucu perusahaan milik Negara yang tidak sesuai dengan bisnis induknya, sehingga cenderung hanya menggerogoti induk perusahaan dan akhirnya terus merugi.
Menanggapi sengkarut tata kelola BUMN tersebut, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menerbitkan Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-315/MBU/12/2019 yang memperketat perizinan pembentukan anak, cucu, hingga cicit perusahaan pelat merah ini.
Keputusan ini tentunya membawa angin segar bagi masyarakat yang masih yakin bahwa keberadaan BUMN bisa menjadi pahlawan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sayangnya, jika berkaca pada Menteri BUMN sebelumnya Rini Soemarno. Masih dengan persoalan yang sama, sejak awal di kementerian ia telah berkomitmen untuk melakukan penataan dan perampingan. Namum hingga ia lengser, kondisi tersebut tidak berubah.
Upaya untuk merampingkan perusahaan-perusahaan itu memang tidak mudah. Pasalnya banyak jajaran direksi perusahaan BUMN yang ikut menikmatinya, seperti merangkap sebagai komisaris di anak dan cucu perusahaan tersebut.
Parahnya lagi, pengisian jajaran petinggi BUMN cenderung bersifat transaksional, bukannya diserahkan kepada kalangan professional yang amanah.
Elite pemerintah malah lebih sibuk menjadikan BUMN dan anak usahanya sebagai sarana untuk bagi-bagi kekuasaan dan rente, terutama kepada tim sukses, partai pendukung, dan pengusaha penyandang dana mereka.
Dalam sistem sekuler kapitalis, kondisi ini adalah wajar dan sangatlah sulit untuk dihindari. Keberadaan Negara hanya sebatas sebagai regulator bukan sebagai penanggung jawab bagi kesejahteraan rakyat.
Akibatnya BUMN dituntut melakukan bisnis dalam memenuhi hajat hidup orang banyak dan mengelola harta publik, maka wajar saat kondisi ekonomi terus memburuk pemerintah tetap menaikkan tarif BPJS.
Ditambah lagi tidak adanya landasan iman dan takwa menjadikan manusia demikian tamak akan harta dan jabatan, tidak lagi menghiraukan dampak dari perbuatannya.
Selama diri dan kelompoknya bisa hidup mewah, maka tak peduli akan ada jutaan penduduk lainnya yang hidup sengsara.
Berbeda dengan Islam yang mengklasifikasi harta publik sebagai milkiyah amah dan milkiyyah daulah. Milkiyah ammah meliputi sektor yang memenuhi hajat hidup publik dan harta SDA yang tidak terbatas (air, infrastruktur jalan, energi, hutan,tambang minerba) tidak boleh dikelola selain oleh Negara sendiri.
Keterlibatan swasta hanya sebagai pekerja dengan akad ijarah/kontrak. Maka terlarang ada kontrak karya seperti pada Freeport, superbody seperti BPJS tenaga kerja dan kesehatan, terlarang pemberian hak konsesi hutan, HTI dan Kemitraan Swasta Pemerintah di sektor ini.
Adapun hasilnya secara eksklusif disalurkan pada belanja yang berhubungan langsung dengan kemaslahatan rakyat. Negara juga tidak boleh mengambil untung dari harta milik rakyat ini.
Sedang milkiyah daulah berupa pengelolaan bangunan, tanah dan perkebunan bisa diberikan kepada rakyat atau dikelola oleh semacam BUMN yg mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan tidak berperan sebagai pebisnis ketika berhadapan dengan kemaslahatan publik sebagaimana dalam sistem kapitalis seperti saat ini. wallahu a’lam bisshawab. (*)
*( Opini ini diterbitkan atas kerjasama Komunitas Wonderful Hijrah Palopo dengan Tekape.co. Isi dan ilustrasi di luar tanggungjawab redaksi.
Tinggalkan Balasan