OPINI: Marak Impor Cangkul, Bukti Maraknya Neoliberalisme
Oleh: Rahmawati, S.Pd.
(Guru SMA di Kota Palopo)
POLEMIK soal barang impor seolah tidak ada habisnya di era pemerintah Joko Widodo (Jokowi). Kebijakan impor pemerintah Jokowi cenderung merugikan petani lokal.
Kebijakan yang menjadi sorotan di antaranya seperti kebijakan impor beras yang dilakukan saat petani sedang panen raya.
Bahkan, beras impor sempat masuk ketika stok gudang Bulog masih melimpah. impor gula yang meroket hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia pada 2017-2018.
Impor jagung sebanyak 60.000 ton per Maret 2019. Impor garam yang menyebabkan petani garam merugi, impor kedelai, gandum dan sebagainya.
Tak hanya dalam bidang pangan, kebijakan impor terbaru yang kembali disorot adalah tentang maraknya impor pacul. Hal tersebut mengemuka setelah Jokowi dalam pidatonya, mengkritik soal impor cangkul.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengkritik pengadaan pacul atau cangkul oleh kementerian dan lembaga yang diimpor dari luar negeri.
Padahal, produk tersebut bisa diproduksi dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri.
“Apakah negara kita sebesar ini, industrinya berkembang, apa benar pacul harus impor?” kata Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2019 di Jakarta, Rabu (8/11). (detik.com)
Berdasarkan Buletin Statistik Badan Pusat Statistik atau BPS, nilai impor cangkul dari Januari sampai Juni 2019 mencapai US$ 59 ribu atau sekitar Rp 826 juta.
Berat bersihnya sekitar 144 ribu kilogram. Nilainya sebenarnya tak seberapa jika dibandingkan, misalnya, dengan impor mesin, barang elektronik, atau bahan bakar minyak, yang mencapai miliaran rupiah.
Impor cangkul tertinggi terjadi pada April 2019 yang mencapai 81 ribu kilogram atau senilai US$ 48 ribu (Rp 672 juta). Angka tinggi ini sepertinya sebagai kompensasi karena pada bulan sebelumnya tidak terjadi kegiatan impor serupa.
Nilai impor dari Januari sampai Juni 2019 ini sudah hampir dua kali lipat daripada 2018. Realisasi impornya sepanjang tahun lalu mencapai 78 kilogram atau senilai US$ 34 ribu (Rp 476 juta).
Menurut menteri Perindustrian Agus Gumiwang bahwa tingkat kesadaran konsumen dalam negeri terhadap pacul buatan Indonesia masih rendah. Hal itulah yang menjadi penyebab banyaknya pacul impor. Agus mengatakan, pacul buatan Indonesia sudah memiliki kualitas yang bagus.
“Sekarang kita harus memunculkan kesadaran dari off-taker (pembeli), kesadarannya belum ada, kalau kualitasnya sudah bagus. itu yang kita kampanyekan,” kata Agus di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (7/11/2019). (detik.com)
Rendahnya kesadaran konsumen untuk menggunakan produk lokal diperparah oleh semakin maraknya cangkul impor yang ternyata harganya jauh lebih murah. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang menjelaskan, kebutuhan cangkul di Indonesia sekitar 10 juta per tahun.
Sementara industri dalam negeri hanya bisa menyuplai 3 juta per tahun terdiri dari 500 ribu IKM (Industri Kecil Menengah) dan 2,5 juta industri besar.
Menurutnya minimnya suplai industri dalam negeri bukan karena tidak mampu memproduksi lebih banyak, melainkan lantaran produk impor yang terus berdatangan dengan harga yang lebih murah.
Selama ini celah masuk produk impor cangkul berada dalam Permendag Nomor 30 tahun 2018 tentang ketentuan impor perkakas tangan.
Masih menurut data Badan Pusat Statistik mencatat nilai impor Indonesia pada Juli 2019 mengalami peningkatan sebesar 34,96% menjadi 15,51 milliar dollar AS.
Adapun 3 negara pemasok barang impor terbesar selama Januari-Juli 2019 masih ditempati Cina dengan nilai 24,73 milliar dollar AS. Selanjutnya adalah Jepang dan Thailand.
Bagaimana mungkin menjadi Macan Asia, sementara berbagai kebutuhan negeri berpenduduk 200 juta orang lebih ini, pasarnya dikuasai negara lain.
Sementara persentase nilai impor menurut penggunaan barang masih didominasi oleh bahan baku atau penolong.
Diikuti barang modal dan barang konsumsi. Artinya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif pun, rezim pemerintahan negeri ini membangun ketergantungan kepada negara lain. Bukan membangun kemandirian.
Jargon ekonomi kerakyatan, ekonomi pancasila dan semacamnya terbantahkan oleh fakta implementatif berjalannya ekonomi neoliberalisme di negeri ini.
Ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi politik akhir abad 20 yang prinsip dasarnya adalah menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Ekonomi neoliberal memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Merobohkan semua hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi.
Maka jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk agreement perdagangan bebas.
Menurut Abdul Qadim Zallum, tujuan utama liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara berkembang membuka pasar mereka terhadap negara maju.
Akibatnya, negara berkembang terus menjadi konsumen. Negara berkembang sulit membangun fondasi ekonomi yang tangguh karena tergantung kepada negara industri.
Hal ini berbahaya bagi ekonomi suatu negara. Terlebih lagi melanggar ketentuan Allah dalam QS An Nisa 104. Untuk bisa lepas dan mandiri dari ketergantungan asing, solusinya hanya dengan menerapkan Ekonomi Syariah.
Kenapa? Karena ekonomi syariah bebas kepentingan manusia dan terbukti 1300 tahun lebih berhasil meratakan kesejahteraan, adil, dan stabil.
Ekonomi syariah bukan hanya bermakna pengaturan financing dan semacamnya. Tapi berupa pengaturan makro dan mikro ekonomi yang mengacu kepada Syariat Islam. Syariah kaffah ini hanya bisa diterapkan dalam bingkai Negara Khilafah Islam.
Dalam makro ekonomi, akan diatur sistem moneter, sistem keuangan negara, sistem fiskal yang digali dari aturan Alquran dan Assunnah.
Dalam mikro ekonomi, akan diatur aktivitas muamalah perseorangan dan perseroan yang mengacu pada Syariat Islam.
Dengan mekanisme tsb, Negara Khilafah di era dulu tumbuh menjadi negara yang mandiri, kukuh dan terdepan perekonomiannya. Tanpa memanipulasi dan menjarah kekayaan alam negara lain.
Adapun perjanjian luar negeri dalam bidang ekonomi, perdagangan, dan keuangan, menurut Taqyuddin AnNabhani, secara umum hukumnya mubah karena masuk dalam kategori hukum ijarah, bai’, dan sharf.
Itu pun dengan memperhatikan status politik negara luar tsb tidak memusuhi dan memerangi Islam dan kaum muslimin.
Dan jika di dalam klausul perjanjian mengandung hal yang bertentangan dengan Syariat Islam maka tidak boleh ditindaklanjuti.
Misal mengekspor komoditas yang vital bagi negara, memperkuat negara lain, atau mengakibatkan kerugian industri dalam negeri dan yang semisal dengan itu.
Maka jelas bahwa bertahan pada sistem ekonomi sekuler hanya akan makin memperpanjang penderitaan rakyat negeri ini. Menderita di dunia dan di akhirat. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
*( Opini ini diterbitkan atas kerjasama Komunitas Wonderful Hijrah Palopo dengan Tekape.co. Isi dan ilustrasi di luar tanggungjawab redaksi.
Tinggalkan Balasan