Objek Wisata Eksotik Telaga Biru Lurayya Gowa, Tempat Persembunyian Dari Penjajah Belanda di Kaki Gunung Lompobattang
GOWA, TEKAPE.co – Di kaki Gunung Lompobattang, terdapat telaga yang berwarna biru, yang kemudian diberi nama Telaga Biru Lurayya. Namun objek wisata eksotik ini belum terkelola dengan baik.
Telaga biru itu berada di Dusun Bulupo’rong Desa Rappolemba, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa. Bentuk telaga ini disebut warga setempat mirip stadion kecil, karena modelnya melingkar.
Telaga ini dulunya adalah lubang persembunyian dari penjajah Belanda. Namun belakangan terisi air yang kemudian menjadi hulu sungai dengan nama Sungai Karaeng Loe.
Eksotisme telaga biru ini baru akan dikembangkan Pemerintah Desa Rappolemba, Kecamatan Tompobulu, Gowa, Sulsel.
Untuk sampai ke Telaga Lurayya, Anda harus menempuh waktu lumayan lama dari kota Makassar, yakni 4 sampai 5 jam, melintasi dua kabupaten, Takalar dan Jeneponto.
Namun selain lewat Poros Jeneponto, terdapat alternatif lain. Anda bisa melalui jalan Poros Sapaya, yang pastinya memangkas waktu perjalanan hingga 1 satu jam.
Dari cerita warga setempat, awalnya telaga itu sangat luas, namun seiring berjalannya waktu, diameternya mulai mengecil, hingga menyisakan kurang lebih 20 meter persegi.
Kepala Desa Rappolemba, Abdul Harim, Selasa 22 Januari 2019, mengatakan, menurut cerita yang berkembang di masyarakat, cikal bakal terciptanya Telaga Lurayya diawali saat masa kolonialisme Belanda melakukan penjajahan di Indonesia.
Kala itu, masyarakat setempat diperintahkan melakukan persembunyian di hutan belantara. Mereka pun lari ke kaki gunung Lompobattang.
“Masyarakat yang bersembunyi di hutan, menemukan lubang yang sangat dalam. Mereka bersepakat masuk ke dalam lubang itu untuk melindungi diri,” ujarnya.
Setelah memastikan keadaan mulai kondusif, baru mereka keluar dari lubang tersebut dan kembali ke rumah masing-masing.
Tak berlangsung lama berada rumahnya, situasi mulai tak aman, mereka memutuskan kembali melakukan persembunyian di lubang tersebut.
Namun apa yang terjadi, setelah sampai ke tempat pengungsian, mereka kaget. Sebab ada lubang yang tadinya kosong melompong, kini berisi air.
Lubang yang sudah berisi air itu secara otomatis tak dapat lagi dijadikan sebagai tempat persembunyian.
Salah satu diantara mereka berteriak dengan suara menggelegar. “E karaeng loe tenami barang-barangku (oh Tuhan, barang-barang kami banyak yang hilang.”
Dari teriakan itu, diabadikan sebagai salah satu nama sungai, yaitu Karaeng Loe. Hulu sungai itu berada di telaga biru tersebut.
Sementara nama Telaga Lurayya sampai sekarang masih jadi misteri. Tekape.co menanyakan ke beberapa tokoh masyarakat di desa itu, namun tak satupun yang bisa memberi informasi pasti terkait siapa yang memberi nama Lurayya.
Salah satu tokoh masyarakat setempat, Haji Kusu, membeberkan, cikal bakal munculnya Lurayya belum diketahui pasti siapa kali pertama memberi nama.
Tetapi dia menggambarkan letak telaga biru Lurayya berada di antara pengunungan, sehingga menyerupai stadion sepakbola disorot dari ketinggian.
“Air tenaga Lurayya sangat biru dan jernih airnya. Tidak pernah berubah warna. Kalau dilihat dari atas mirip stadion,” ungkapnya. (rido)
Tinggalkan Balasan