OPINI: MK di Persimpangan; Antara Pemulihan Marwah dan Bayang-Bayang Kekuasaan
Oleh : T.H. Hari Sucahyo
(Pegiat di Cross-Diciplinary Discussion Group “Sapientiae”)
DUA tahun setelah Oktober 2023, ingatan publik tentang Mahkamah Konstitusi masih dipenuhi getir. Putusan Nomor 90 bukan sekadar tafsir hukum yang kontroversial, melainkan luka institusional yang menorehkan keraguan mendalam atas independensi lembaga penjaga konstitusi itu.
Ketika MK yang dipimpin Anwar Usman, adik ipar Presiden Joko Widodo, membuka jalan bagi kepala daerah berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden, publik melihat hukum seperti dilipat agar pas dengan kepentingan kekuasaan.
Putusan itu dibaca luas sebagai karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka, dan sejak saat itu, wibawa MK tergerus. Lebih dari sekadar persoalan usia, yang runtuh adalah kepercayaan: keyakinan bahwa palu hakim konstitusi mengetuk atas nama konstitusi, bukan atas bisikan relasi keluarga dan politik.
Kekecewaan publik memuncak karena MK selama ini ditempatkan sebagai benteng terakhir konstitusionalisme. Ia berdiri di atas prinsip independensi, imparsialitas, dan keberanian moral untuk berkata tidak kepada kekuasaan. Ketika benteng itu tampak berlubang, rasa aman demokrasi ikut terkikis.
Reaksi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang memberhentikan Anwar Usman dari kursi Ketua MK memang menghadirkan secercah keadilan etik, tetapi tak serta-merta menutup luka.
Sanksi etik, betapapun penting, tak bisa menghapus persepsi bahwa proses pengambilan putusan telah terkontaminasi konflik kepentingan.
Bagi publik, pertanyaannya sederhana namun menusuk: jika ketua lembaga bisa terseret kepentingan keluarga, sejauh mana sistem mampu mencegah hal serupa terulang? Palu Ketua MK kemudian berpindah ke tangan Suhartoyo, dan sejak itu, narasi tentang “berbenah” mulai mengemuka.
Ada upaya pemulihan marwah melalui putusan-putusan yang dinilai progresif dan berjarak dari kepentingan istana. MK menolak penurunan batas usia calon kepala daerah yang kala itu ditengarai sebagai batu loncatan politik bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden.
MK juga melarang polisi menduduki jabatan sipil, sebuah keputusan yang mengafirmasi prinsip sipilisme dan membatasi kecenderungan militerisasi ruang sipil melalui aparat penegak hukum.
Putusan-putusan ini dibaca sebagai sinyal bahwa MK berusaha kembali ke relnya: menegakkan konstitusi tanpa pandang bulu.
Namun, pemulihan kepercayaan publik bukan perkara mengeluarkan beberapa putusan yang “tepat sasaran”. Kepercayaan adalah mata uang rapuh yang nilainya ditentukan oleh konsistensi, bukan momen.
Publik belajar dari pengalaman bahwa independensi lembaga tidak diukur dari satu-dua keputusan, melainkan dari pola, keberanian, dan daya tahan terhadap tekanan kekuasaan yang sistemik.
Apalagi, kita hidup di tengah pemerintahan yang oleh sebagian kalangan dinilai semakin represif, dengan kecenderungan menyempitkan ruang kritik dan menguatkan kontrol terhadap institusi-institusi strategis.
Dalam iklim seperti ini, MK berada di persimpangan: apakah ia akan menjadi penjaga jarak terhadap kekuasaan, atau justru kembali tergelincir menjadi alat legitimasi politik. Bahaya terbesar bagi MK bukan hanya intervensi langsung, melainkan normalisasi kompromi.
Ketika putusan-putusan yang problematik dimaafkan sebagai “kekhususan konteks”, atau ketika konflik kepentingan dianggap lumrah karena kedekatan personal, maka standar etik dan konstitusional pelan-pelan diturunkan. Inilah jalan licin yang membuat lembaga tinggi negara kehilangan tulang punggungnya.
Pemulihan marwah MK menuntut lebih dari sekadar hasil akhir putusan; ia menuntut proses yang transparan, argumentasi hukum yang kokoh, dan keberanian untuk menolak perkara yang sarat konflik kepentingan sejak awal.
Di sisi lain, kita juga perlu jujur melihat struktur politik yang melingkupi MK. Hakim konstitusi dipilih melalui mekanisme politik oleh presiden, DPR, dan Mahkamah Agung yang tak steril dari tarik-menarik kepentingan.
Dalam sistem seperti ini, independensi bukan kondisi bawaan, melainkan pilihan etis yang harus diperjuangkan setiap hari. Suhartoyo dan koleganya menghadapi ujian yang tidak ringan: bagaimana membuktikan bahwa meski lahir dari proses politik, mereka tidak menjadi perpanjangan tangan politik.
Ujian ini akan datang bertubi-tubi, terutama ketika perkara-perkara strategis menyentuh kepentingan penguasa, partai besar, atau figur sentral kekuasaan.
Putusan yang menolak penurunan usia calon kepala daerah dan melarang polisi menduduki jabatan sipil memberi harapan, tetapi juga menimbulkan ekspektasi.
Publik akan menuntut konsistensi yang sama ketika MK berhadapan dengan isu-isu lain: pemilu, pembatasan kebebasan sipil, relasi sipil-militer, hingga penataan kekuasaan eksekutif. Sekali saja MK tampak ragu atau berkompromi, memori tentang Putusan 90 akan kembali menghantui, dan semua upaya pemulihan bisa runtuh seketika.
Dalam politik, reputasi dibangun lama, tetapi bisa runtuh dalam satu keputusan. Lebih jauh, MK perlu menyadari bahwa independensi tidak hanya dipraktikkan di ruang sidang, tetapi juga di ruang publik.
Komunikasi institusional yang terbuka, penjelasan argumentasi yang jernih, dan kesediaan menerima kritik adalah bagian dari akuntabilitas.
Di era media sosial dan arus informasi cepat, keheningan lembaga sering kali ditafsirkan sebagai sikap defensif atau bahkan arogansi.
Padahal, keterbukaan justru bisa menjadi perisai untuk melindungi MK dari tudingan manipulasi. Bukan berarti hakim harus berdebat di ruang publik, tetapi argumentasi hukum yang kuat dan mudah diakses adalah cara terbaik membangun kembali kepercayaan.
Pada saat yang sama, publik dan masyarakat sipil juga memegang peran penting. Mengawal MK bukan berarti menaruh curiga berlebihan, melainkan memastikan bahwa standar etik dan konstitusional terus dijaga. Kritik yang tajam namun berbasis argumen hukum akan membantu MK tetap berada di jalurnya.
Demokrasi yang sehat membutuhkan lembaga yang kuat, tetapi juga warga yang waspada. Ketika publik apatis, ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan justru melebar. Pertanyaan yang menggantung bukanlah apakah MK bisa kembali dipercaya, melainkan apakah ia mau dan mampu membuktikannya secara berkelanjutan.
Putusan 90 telah menjadi catatan kelam yang tak mungkin dihapus, tetapi masih bisa ditebus dengan konsistensi dan keberanian. Di bawah kepemimpinan baru, MK diberi kesempatan kedua oleh sejarah, sebuah kesempatan yang jarang datang dua kali.
Jika kesempatan ini disia-siakan, dampaknya bukan hanya pada satu lembaga, melainkan pada fondasi demokrasi konstitusional itu sendiri.
Di persimpangan ini, MK harus memilih jalan yang lebih terjal: menjaga jarak dari kekuasaan, menahan godaan kompromi, dan setia pada konstitusi meski berisiko tidak disukai penguasa.
Jalan ini memang tidak mudah, tetapi hanya dengan itulah MK bisa kembali menjadi rumah harapan bagi keadilan konstitusional.
Jika tidak, MK akan selamanya dibayangi pertanyaan yang tak pernah benar-benar terjawab: untuk siapa palu itu diketukkan? (*)



Tinggalkan Balasan