OPINI: Refleksi Qur’an atas Luka Alam di Aceh dan Sumatra
Oleh: Erni Hapsan
(Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta)
BELAKANGAN ini, masyarakat kembali diguncang oleh rangkaian bencana alam yang melanda berbagai wilayah Indonesia, termasuk Aceh dan Sumatra Barat. Banjir, longsor, dan kerusakan lingkungan seakan menjadi pemandangan yang terus berulang.
Meski bencana sering disebut sebagai “fenomena alam”, kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak di antaranya justru merupakan akumulasi dari kelalaian dan keserakahan manusia dalam mengelola alam.
Di lapangan, berbagai laporan menunjukkan bahwa kerusakan hutan akibat alih fungsi lahan, pembukaan kawasan tambang, eksploitasi gunung dan sungai, serta lemahnya pengawasan terhadap aktivitas industri menjadi faktor utama rusaknya keseimbangan ekologis.
Ketika hujan deras turun, alam yang sudah kehilangan daya dukungnya tidak lagi mampu menahan air dan tanah. Maka banjir dan longsor pun tidak terelakkan. Ini bukan semata “takdir alam”, melainkan cermin dari rusaknya relasi manusia dengan lingkungan.
Dikutip dari KompasTV, hingga Sabtu, 6 Desember 2025, jumlah korban jiwa akibat bencana alam yang melanda wilayah Sumatra telah mencapai 914 orang dan angka ini masih terus bertambah.
Dari laporan BNPB, korban berasal dari Provinsi Aceh sebanyak 359 korban jiwa, Sumatra Barat 226 korban jiwa, dan Sumatra Utara 329 korban jiwa.
Angka-angka ini bukan sekadar catatan jumlah korban, melainkan potret duka mendalam atas hilangnya ratusan nyawa, hancurnya keluarga, serta runtuhnya ruang hidup masyarakat.
Tragedi ini menyadarkan kita untuk tidak lagi memandang bencana hanya sebagai peristiwa alam semata, tetapi sebagai alarm keras atas rusaknya hubungan manusia dengan lingkungannya.
Di titik inilah Islam hadir bukan hanya sebagai agama ritual, tetapi sebagai panduan etika ekologis yang menegaskan bahwa setiap kerusakan di bumi selalu berkaitan dengan ulah dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah.
Dalam perspektif Al-Qur’an, manusia tidak ditempatkan sebagai penguasa mutlak atas bumi, melainkan sebagai khalifah, pengelola yang memikul amanah. Kerusakan yang terjadi sejatinya adalah akibat dari pengkhianatan terhadap amanah tersebut.
Sebagaiman firman Allah SWT pada QS. Ar-Rum 30: 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa “kerusakan” dalam ayat ini mencakup kerusakan fisik lingkungan, rusaknya tatanan sosial, serta hilangnya keseimbangan antara manusia dan alam. Bencana bukan sekadar musibah, tetapi juga peringatan agar manusia melakukan koreksi moral dan ekologis.
Peringatan tentang larangan merusak bumi juga telah ditegaskan secara jelas dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-A’raf 7 ayat 56: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Menurut Tafsir Al-Qurthubi, ayat ini merupakan larangan keras terhadap segala bentuk perusakan, baik dalam skala kecil maupun besar, termasuk perusakan hutan, air, dan tanah yang menjadi sumber kehidupan manusia.
Bahkan Al-Qur’an secara tegas mengaitkan karakter perusak dengan keserakahan ekonomi sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah 2: 205:
“Dan apabila ia berpaling, ia berjalan di bumi untuk membuat kerusakan padanya, serta merusak tanaman-tanaman dan hewan ternak.”
Ayat ini menggambarkan karakter manusia yang menjadikan kepentingan ekonomi sebagai tujuan utama, tanpa memedulikan dampaknya bagi kehidupan.
Fokus pada keuntungan semata inilah yang kemudian melahirkan praktik eksploitasi alam secara besar-besaran, mulai dari perusakan hutan, pengerukan tambang, hingga penggusuran ruang hidup masyarakat.
Ironisnya, watak perusak yang dikritik oleh Al-Qur’an justru sering dilegalkan oleh kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Padahal, secara konstitusional, negara sebenarnya telah menempatkan alam sebagai amanah publik yang harus dijaga bersama.
Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (dikutib dari UUD 1945 BAB XIV Kesejatraan Sosial Pasal 33) yang menyebutkan bahwa:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Dalam praktiknya, prinsip tersebut diperkuat dengan:
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menegaskan bahwa hutan harus dijaga sebagai sistem penyangga kehidupan. dikutib dari database https://peraturan.bpk.go.id/Details/45373/uu-no-41-tahun-1999
- UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dikutib dari database https://peraturan.bpk.go.id/Details/38578/uu-no-4-tahun-2009 , (jo. UU No. 3 Tahun 2020), yang mengatur kewajiban reklamasi dan pascatambang https://peraturan.bpk.go.id/Details/138909/uu-no-3-tahun-2020.
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur sanksi bagi perusak lingkungan https://peraturan.bpk.go.id/details/38771/uu-no-32-tahun-2009.
Namun fakta di lapangan sering menunjukkan sebaliknya. Aktivitas tambang ilegal, pembalakan liar, dan pembukaan lahan tanpa memperhatikan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) masih terus terjadi.
Hukum sering kalah oleh kekuatan modal. Inilah wajah kapitalisasi alam, ketika alam dimaknai secara sempit menjadi objek komersial, bukan sebagai titipan Allah.
Dalam perspektif tafsir tematik, bencana dapat dibaca bukan hanya sebagai ujian kesabaran, tetapi juga sebagai teguran secara umum atas dosa terstruktur, ketidakadilan ekologis, eksploitasi berlebihan, dan pembiaran terhadap pelanggaran lingkungan.
Mereka yang tinggal di wilayah terdampak bencana sering kali bukanlah pelaku utama perusakan, melainkan justru kelompok yang paling rentan misalkan petani, nelayan, dan masyarakat adat. Di sini, bencana juga menyingkap wajah ketimpangan sosial akibat sistem ekonomi yang eksploitatif.
Maka dari itu bencana di Aceh dan Sumatra Barat seharusnya menyadarkan kita bahwa alam bukan objek eksploitasi tanpa batas.
Dalam pandangan Al-Qur’an, merusak alam sama dengan melawan sunatullah. Keserakahan atas nama pembangunan dan keuntungan ekonomi telah menggeser nilai amanah menjadi ambisi.
Jika negara telah memiliki undang-undang, dan agama telah memberi peringatan keras, maka yang tersisa adalah keberanian moral untuk taat, baik oleh pemerintah, korporasi, maupun masyarakat. Tanpa perubahan cara pandang terhadap alam, bencana akan terus berulang dengan wajah dan lokasi yang berganti.
Sudah saatnya kita tidak lagi hanya menyebut bencana sebagai “takdir”, tetapi juga sebagai cermin dari dosa ekologis manusia. Dan sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rum 30 : 41, semua itu terjadi agar manusia kembali pada kesadaran, keadilan, dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
Bencana yang berulang bukan sekadar peristiwa alam, melainkan panggilan kesadaran bagi manusia untuk kembali pada amanah sebagai khalifah di bumi.
Sudah saatnya kita melakukan apa yang dapat disebut sebagai tobat ekologis: berhenti merusak, berani memperbaiki, dan sungguh-sungguh mengubah cara pandang terhadap alam.
Alam tidak diciptakan untuk dieksploitasi tanpa batas, melainkan untuk dirawat sebagai titipan Ilahi yang menentukan masa depan generasi.
Di saat yang sama, negara dituntut hadir secara tegas dan adil. Hukum tidak boleh tunduk pada kekuatan modal. Setiap praktik tambang ilegal, pembalakan liar, serta pelanggaran lingkungan harus ditindak tanpa kompromi, karena kelalaian hari ini adalah bencana bagi esok hari.
Penegakan hukum bukan semata soal sanksi, tetapi soal keberanian melindungi rakyat dari kerusakan yang terstruktur.
Masyarakat pun tidak boleh terus ditempatkan sebagai korban. Petani, nelayan, masyarakat adat, dan generasi muda harus diperkuat sebagai penjaga alam, bukan justru disingkirkan oleh kepentingan ekonomi.
Kesadaran ekologis juga harus tumbuh dari ruang-ruang keagamaan, pendidikan, dan sosial, agar Islam benar-benar hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya sebagai ajaran ritual.
Pada akhirnya, krisis ekologis ini menuntut pergeseran besar cara berpikir, dari eksploitasi menuju keberlanjutan, dari keserakahan menuju kecukupan, dari ambisi menuju amanah.
Jika aturan sudah ada dan Al-Qur’an pun telah memberi peringatan yang begitu jelas, maka yang kini paling dibutuhkan bukan lagi sekadar wacana, melainkan keberanian untuk benar-benar taat dan berubah.
Keberanian bagi pemerintah untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Keberanian bagi korporasi untuk berhenti menjadikan alam sebagai ladang keuntungan semata. Dan keberanian bagi kita sebagai masyarakat untuk tidak lagi diam saat kerusakan terus dibiarkan.
Sebab tanpa perubahan nyata, bencana tidak hanya akan terus berulang, tetapi juga akan semakin besar dan mematikan. (*)



Tinggalkan Balasan