Tekape.co

Jendela Informasi Kita

Kongres Nasional ILP2MI 2025: Ruang Mahasiswa Peneliti Menegosiasikan Masa Depan Ilmu Pengetahuan

Foto bersama dalam acara Konas Rakernas ILP2MI yang dilaksanakan di Aula Politeknik STIA LAN Makassar, 29-30 November 2025. (ist)

MAKASSAR, TEKAPE.co — Di tengah derasnya arus digitalisasi, disrupsi teknologi, dan ketidakpastian sosial-politik, ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia berkumpul di Kampus Politeknik STIA LAN Makassar, Sabtu (29/11/2025).

Mereka hadir bukan untuk festival seni atau kompetisi olahraga, melainkan untuk sesuatu yang lebih sunyi namun fundamental: merawat budaya penalaran dan penelitian.

Forum itu bernama Kongres Nasional Ikatan Lembaga Penalaran dan Penelitian Mahasiswa Indonesia (ILP2MI) 2025, sebuah agenda tahunan yang mempertemukan lembaga-lembaga penalaran mahasiswa dari seluruh Indonesia.

Tahun ini, tema yang diangkat sederhana namun sarat makna: “Cross, Close, Create.” Sebuah isyarat bahwa generasi mahasiswa peneliti dituntut untuk menembus batas, mempererat jaringan, dan mencipta gagasan baru yang relevan.

Acara pembukaan berlangsung hangat. Erika Safitri dari UKM RITMA UIN Alauddin Makassar memandu jalannya acara.

Para peserta hadir dalam dua format, luring dan daring, yang mencerminkan pola kerja intelektual baru: hybrid, fleksibel, adaptif.

Secara tatap muka, hadir lembaga penalaran seperti UKM KPI Universitas Hasanuddin, LKIM-PENA Universitas Muhammadiyah Makassar, UKM FORKIM IAIN Parepare, LPM Penalaran UNM, hingga UKM P2RI STIA LAN Makassar sebagai tuan rumah.

Sementara lewat Zoom, tampak wajah-wajah mahasiswa dari Universitas Airlangga, UGM, Universitas Negeri Padang, UPN Yogyakarta, hingga Politeknik Negeri Samarinda. Sebuah jaringan intelektual lintas kota, lintas ide, dan lintas pengalaman.

Ketua Panitia, Alya Ilmi Majidah, membuka pertemuan dengan kalimat yang mencerminkan kesadaran bahwa acara ini tidak lahir begitu saja. Ada dukungan, ada energi kolektif, ada mimpi bersama.

Setelahnya, Sekretaris Jenderal ILP2MI, Rasmi Safitri, mengingatkan peserta untuk menyisipkan doa bagi korban bencana di Sumatera, sebuah tanda bahwa ilmu pengetahuan harus selalu bersanding dengan empati.

Satu per satu sambutan mengisi panggung, bukan sekadar formalitas, tetapi pengingat: bahwa gerakan penalaran membutuhkan keberlanjutan.

Ketua DPM Politeknik STIA LAN Makassar, Erina Novrianti, menekankan pentingnya regenerasi intelektual.

Ketua BEM kampus yang sama, Fauzia Humaira, menambahkan bahwa forum seperti ini memperluas cakrawala berpikir mahasiswa sekaligus menguatkan budaya akademik yang mulai tersisih oleh konten-konten viral dan konsumsi digital yang instan.

Puncaknya, pembina UKM P2RI, Arif Alauddin Umar, membuka kongres secara resmi. Ia menyinggung tema Cross, Close, Create sebagai refleksi zaman, ketika gagasan hanya akan relevan jika mampu menyeberangi batas, menghubungkan komunitas, dan melahirkan solusi.

Setelah sesi seremonial, sidang organisasi pun dimulai. Para peserta membahas tata tertib, agenda sidang, hingga mekanisme kerja ILP2MI ke depan.

Di ruangan yang sebagian besar dihiasi laptop, notula digital, dan diskusi panjang, terjadi hal penting yang jarang diberitakan: mahasiswa sedang belajar menjadi warga intelektual.

Tak ada gemuruh tepuk tangan seperti konser. Tak ada gegap gempita seperti pertandingan final olahraga. Tetapi di ruang sidang itu, arah gerakan intelektual mahasiswa di Indonesia sedang dirumuskan.

Kongres ILP2MI kali ini bukan hanya musyawarah, bukan hanya rapat organisasi. Ia adalah peringatan bahwa di tengah derasnya budaya instan, masih ada kelompok mahasiswa yang memilih jalan kritis: membaca, meneliti, berdiskusi, dan berdebat demi peradaban pengetahuan yang lebih baik.

Dengan semangat Cross, Close, Create, kongres ini diharapkan melahirkan keputusan organisasi yang visioner, gagasan yang aplikatif, dan jejaring pengetahuan yang tidak terputus setelah forum selesai.

Sebab dunia akademik selalu berjalan dalam diam, tetapi dampaknya bisa mengubah arah bangsa.

Dan mungkin, seperti hari ini di Makassar, langkah kecil itu justru dimulai dari meja sidang, laptop yang terus terbuka, dan sekelompok mahasiswa yang percaya bahwa ilmu pengetahuan masih relevan diperjuangkan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini