Tekape.co

Jendela Informasi Kita

OPINI: Kampus Suci, Predator Sunyi

Wahdi Laode Sabania.

Oleh: Wahdi Laode Sabania

Kampus kita itu seperti tukang parkir. Pandai mengatur kendaraan di halaman, tetapi tak pernah peduli apa yang terjadi di dalam mesin. Atau seperti ustaz yang lantang di mimbar, tetapi kehilangan suara ketika jamaahnya dipalak di jalan.

Di Kota Palopo ada sebuah kampus Islam negeri yang namanya cukup panjang, lebih panjang dari harapan mahasiswa tingkat akhir menunggu dosen bimbingan yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Palopo.

Kampus ini katanya bersih, katanya islami, katanya juga ramah lingkungan. Tetapi, belakangan ini muncul kabar yang agak sulit dicerna, ada dugaan pelecehan seksual beraroma LGBT yang mampir ke ruang kelas tentu bukan sebagai mata kuliah pilihan, melainkan sebagai kabar burung yang baunya lebih menyengat dari tempat sampah kantin.

Awalnya, semua berjalan seperti biasa. Mahasiswa sibuk memikirkan skripsi yang tak kelar-kelar, dosen sibuk dengan seminar nasional ke-237 yang entah di mana, dan kampus tenang-tenang saja, seolah tidak ada yang terjadi. Predator seksual?

Ah, itu urusan belakangan, pikir sebagian orang. Tetapi seperti biasa, dunia digital lebih cepat daripada azan Subuh.

Begitu kasus ini viral, kampus yang tadinya diam bak batu nisan mendadak fasih bicara.

Pihak kampus berkata tegas, “Kami tidak memberi toleransi terhadap predator LGBT maupun pelecehan seksual.”

Pernyataan ini berbunyi gagah sekali, seperti orasi calon presiden. Tetapi mahasiswa yang mendengar hanya bisa senyum kecut, sebab pertanyaan mereka sederhana,

“Kalau begitu, kenapa baru sekarang bicara? Kenapa menunggu viral dulu?”

Kalau boleh jujur, mungkin kampus itu punya hobi unik yaitu menunggu. Menunggu laporan resmi yang tak pernah datang. Menunggu mahasiswa memberanikan diri, meski mahasiswa sudah ketakutan setengah mati.

Menunggu kasus ini trending di media sosial, supaya bisa sekalian tampil gaya di konferensi pers.

Selama ini, kampus selalu mengajarkan bahwa keberanian itu penting, bahwa amar ma’ruf nahi munkar harus ditegakkan.

Tetapi giliran mahasiswa butuh keberanian kampus, yang muncul malah kebiasaan lama: pura-pura tidak tahu.

Kampus seperti bapak kos yang bilang “kalau ada air bocor lapor ya” tapi begitu dilapor, jawabannya cuma “ya nanti kita lihat”.

Padahal, pelecehan seksual, entah itu LGBT atau non-LGBT, bukan isu sepele. Ia bukan seperti gosip kantin soal siapa yang jadian dengan siapa.

Ia bisa menghancurkan mental mahasiswa, membuat korban trauma, bahkan mematikan semangat belajar. Namun, entah kenapa, kasus-kasus seperti ini di kampus sering berakhir dengan bisik-bisik di lorong.

Korban lebih memilih diam, sebab berbicara artinya membuka risiko baru. Dicap pembuat masalah, dikucilkan, atau bahkan di manipulasi oleh pihak kampus sendiri.

Nah, sekarang pertanyaannya, apakah kasus ini yang pertama? Atau hanya yang pertama kali viral? Banyak mahasiswa berasumsi dan asumsi itu ibarat nasi kucing di angkringan murah, tapi sering benar bahwa kejadian serupa mungkin sudah lama ada.

Hanya saja, korban-korban sebelumnya memilih diam. Mereka lebih memilih berbisik kepada temannya di kos-kosan daripada berhadapan dengan birokrasi kampus yang lebih rumit dari soal ujian Metodologi Penelitian.

Kampus sendiri tentu tidak mau dicap sebagai penutup telinga. Mereka bilang siap menindak tegas, siap membentuk tim investigasi, siap menjaga nama baik institusi.

Tetapi mahasiswa sudah keburu sinis. Sebab mereka tahu, di negeri ini, “tim investigasi” sering berfungsi sebagai mesin pendingin.

Panas isu, dibentuk tim, lalu kasusnya perlahan mendingin. Sampai semua lupa.

Dalam hal ini, kampus seolah sedang memainkan drama klasik. Menolak di depan publik, tapi entah bagaimana di belakang panggung bisa berbeda cerita.

Jika predator seksual benar-benar tidak ditoleransi, mestinya ada langkah nyata, bukan sekadar pernyataan setelah trending.

Mahasiswa ingin melihat pelaku benar-benar diusut, bukan hanya diberi hukuman administratif sekelas “dilarang masuk kampus selama tiga hari.”

Ironisnya, UIN Palopo selama ini dikenal dengan slogan-slogan moral yang begitu harum. Di spanduk-spanduk wisuda, kata-kata seperti

“Mencetak Generasi Religius dan Bermartabat” terpampang besar-besar.

Tetapi spanduk tidak pernah bisa melindungi korban pelecehan. Ia hanya bisa jadi hiasan foto, sementara mahasiswa di lapangan harus menanggung trauma.

Di titik ini, kita harus jujur. Kampus di Indonesia, bukan hanya UIN Palopo, sering gagap menghadapi kasus pelecehan seksual.

Mereka lebih takut kehilangan citra daripada kehilangan mahasiswa yang hancur mentalnya. Lebih takut pada headline berita daripada pada doa korban yang menangis di malam hari.

Dan lebih sibuk mengurus formalitas ketimbang menyentuh substansi.

Jadi, kalau sekarang UIN Palopo bilang tidak mentolerir predator seksual, kita patut berterima kasih. Setidaknya mereka sudah bicara, walau telat.

Tetapi mahasiswa juga patut mengingatkan, jangan hanya bicara ketika sorotan kamera menyala. Sebab keadilan tidak menunggu trending, keadilan mestinya berjalan sejak awal, bahkan tanpa perlu sorotan.

Dan bagi para predator, baik LGBT maupun non-LGBT, ingatlah, kampus itu tempat mencari ilmu, bukan tempat berburu nafsu. Kalau mau memuaskan birahi, silakan pergi ke rimba belantara, jangan sembunyi di balik toga akademik. Mahasiswa datang ke kampus untuk belajar, bukan untuk menjadi korban.

Akhirnya, kasus ini mestinya jadi cermin, bukan sekadar berita. Jika kampus hanya diam lagi, jangan salahkan mahasiswa bila mereka lebih percaya pada Twitter daripada pada birokrasi rektorat. Sebab di zaman sekarang, Tuhan mungkin Maha Melihat, tapi netizen Maha Cepat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini