Di Dekat Pembangkit, Tapi Jauh dari Terang: Suara Protes dari Dusun Balambano
Listrik Mengalir ke Pabrik, Tapi Tidak ke Rumah Kami
Warga Balambano
WASUPONDA, TEKAPE.co – Di kaki bukit yang dibelah aliran sungai deras, berdiri megah dua unit Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) milik PT Vale Indonesia.
Siang dan malam, turbin di sana tak pernah berhenti berputar, menghasilkan daya listrik raksasa untuk menopang operasi industri tambang nikel.
Tapi tepat di sekitarnya, di Dusun Balambano, puluhan rumah warga tetap ‘gelap’ saat malam tiba—karena listrik yang mereka nikmati, tetap harus dibayar sendiri.
Ironi itulah yang mendorong puluhan warga bersama mahasiswa turun ke jalan. Mereka menamai gerakan mereka: Aliansi Masyarakat Dusun Balambano Menggugat.
Dipimpin Yolan Johan Geso, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma Palopo, yang juga putra asli dusun tersebut, mereka mendatangi kantor DPRD Luwu Timur dengan satu tuntutan yang sederhana tapi penuh makna: listrik gratis. Setidaknya, subsidi yang adil.
“Kami bukan meminta belas kasihan. Tapi meminta hak. Hak untuk menikmati energi yang bersumber dari tanah kami sendiri,” tegas Yolan, di tengah orasi, Senin (30/6/2025).
Yolan dan warga menyebutkan bahwa PLTA Balambano menghasilkan tegangan 150 kilovolt dengan kapasitas hingga 110 ribu megawatt.
Sementara jumlah rumah di dusun mereka hanya sekitar 150 unit, dengan kebutuhan total tidak lebih dari 135 ribu watt.
Bandingkan angka itu—bagai setetes air dalam samudra energi yang terus mengalir dari PLTA ke smelter dan pabrik-pabrik tambang.
“Kalau perusahaan bisa produksi puluhan ribu ton nikel per tahun, kenapa 150 rumah di sini tidak bisa menikmati listrik secara layak?” tanya Yolan.
Respon Politik: Suara Mereka Tak Lagi Sunyi
DPRD Luwu Timur pun tak tinggal diam. Wakil Ketua II, Hj Harisa Soharjo, menerima langsung aspirasi warga dan menyatakan dukungan terbuka atas perjuangan mereka.
“Ini adalah tuntutan yang adil. Mereka tinggal hanya beberapa meter dari PLTA, tapi tidak merasakan manfaatnya. Kami akan panggil PT Vale dan PLN dalam forum resmi RDP,” ujarnya.
Aspirasi warga Balambano telah dimasukkan dalam agenda resmi DPRD melalui Bamus dan kini berada di tangan Komisi III untuk ditindaklanjuti.
BACA JUGA:
Warga Balambano Desak Listrik Gratis, DPRD Luwu Timur Siap Panggil PT Vale dan PLN
Anggota Komisi III, Badawi dari Fraksi Golkar, menyatakan pihaknya akan segera menggelar Rapat Dengar Pendapat dalam minggu ini.
Harapannya, warga tidak hanya didengar, tapi juga mendapat solusi konkret.
“Jangan sampai aspirasi ini jadi sekadar catatan. Kami ingin ada keputusan nyata,” ujar Badawi.
Dari Janji yang Hampa, Lahir Tekad yang Tegas
Aksi ini lahir dari kekecewaan mendalam. Sebelumnya, warga telah berdialog dengan pihak PT Vale dan Camat Wasuponda, dan disepakati bahwa RDP akan difasilitasi. Tapi minggu demi minggu berlalu tanpa kejelasan. Janji tinggal janji.
Tak ingin dibungkam oleh waktu dan formalitas, warga mengambil alih narasi mereka sendiri. Mereka turun ke jalan, bersuara di ruang dewan, dan kini menanti: apakah suara mereka akan sampai ke telinga pemilik kekuasaan energi?
Balambano, Di Tengah Deru dan Sunyi
Dusun Balambano adalah potret kecil dari wajah besar industri ekstraktif di Indonesia: energi yang diambil dari tanah rakyat, tapi tidak selalu kembali ke rakyat.
PLTA Balambano, dengan segala kemegahannya, berdiri tegak di atas lahan yang dulunya hutan.
Di sekitarnya, warga beradaptasi dengan pembatasan, suara bising, dan relokasi kecil-kecilan. Tapi kini, yang mereka minta hanya satu: listrik gratis.
“Kami hidup berdampingan dengan listrik, tapi kami tidak pernah merasa dimiliki oleh listrik itu,” kata seorang warga dengan nada getir.
RDP tinggal selangkah lagi. Bagi warga Balambano, ini bukan sekadar forum diskusi. Ini adalah pengadilan moral. Akankah energi besar yang mengaliri industri tambang juga bisa mengaliri hati dan pikiran para pengambil kebijakan?
Atau, Balambano akan tetap seperti sekarang: terang bagi industri, tapi gelap bagi penghuninya. (*)
Tinggalkan Balasan