Tekape.co

Jendela Informasi Kita

Festival Lampion HUT ke-22 Luwu Timur, Simbol Semangat dan Cahaya Harapan

Peserta Festival Lampion, dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun ke-22 Kabupaten Luwu Timur. Mereka membawa lampion dengan simbol huruf yang jika disusun bertuliskan HUT Lutim. (ist)

Festival Lampion kembali hadir, kali ini dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun ke-22 Kabupaten Luwu Timur. Dan malam itu, Sorowako tak hanya terang oleh cahaya lampion—tetapi juga oleh harapan, ekspresi, dan kebanggaan masyarakatnya.

SABTU malam di Sorowako terasa berbeda. Langit malam yang biasanya sunyi berubah menjadi kanvas cahaya yang memikat.

Sabtu 3 Mei 2025, memang tepat hari lahir Kabupaten Luwu Timur, 22 tahun silam.

Di Taman Iniaku, ribuan pasang mata memandang ke atas, menyaksikan lentera-lentera bercahaya yang melayang, menari-nari pelan di antara hembusan angin malam.

Sejak pukul tujuh malam, Taman Iniaku sudah sesak. Warga dari berbagai penjuru kecamatan datang berbondong-bondong, tua dan muda, anak-anak hingga lansia, semua larut dalam semangat yang sama.

Puluhan lampion hasil kreasi instansi, sekolah, dan komunitas lokal siap dipamerkan dalam parade yang memukau.

Masing-masing membawa tema dan makna tersendiri—dari bentuk burung enggang, kapal pinisi, hingga miniatur rumah adat, semua berpadu dalam irama tradisional dan warna-warni budaya.

“Baru kali ini saya datang langsung. Keren sekali, saya sampai merinding lihat parade-nya,” ujar Rahim (34), seorang warga Sorowako, sambil menggandeng tangan anaknya yang tampak kagum menatap langit.

Cahaya lampion bukan hanya memanjakan mata, tapi juga menyalakan semangat kebersamaan.

Di sisi lain taman, Saldi, perwakilan komunitas pemuda, sibuk menjelaskan proses pembuatan lampion yang dibawanya.

Saldi dan timnya butuh dua pekan untuk menyelesaikannya.

“Kami pilih tema fauna endemik Luwu Timur. Biar anak-anak muda juga tahu kekayaan daerahnya. Ini bukan cuma soal tampil di parade, tapi tentang rasa memiliki,” tuturnya penuh bangga.

Peserta festival lampion memamerkan karyanya. (ist)

Festival Lampion ini bukan sekadar acara hiburan. Ia telah berkembang menjadi ruang budaya, tempat warga mengekspresikan kreativitas sekaligus mempererat silaturahmi.

Anak-anak terlihat berlarian dengan baju adat, remaja sibuk berswafoto di antara lampion, dan orang tua duduk di tikar sambil menikmati suasana.

Di tengah riuhnya malam, tidak sedikit yang mengenang awal mula perayaan ini.

Dulu, acara seperti ini hanya diikuti segelintir kelompok. Kini, skala dan partisipasinya tumbuh pesat. Pemerintah daerah memberi ruang, komunitas bekerja sama, dan warga pun antusias.

“Ini yang kita sebut pesta rakyat. Tidak mewah, tapi membekas,” kata seorang pengunjung dari Towuti.

Lampion-lampion itu, selain menjadi simbol perayaan, juga menjadi metafora harapan. Harapan akan daerah yang terus maju, tetapi tetap berakar pada budaya.

Harapan akan masyarakat yang kian solid, kreatif, dan bangga pada identitasnya.

Ketika satu per satu lampion dilepaskan ke langit, terdengar suara tepuk tangan dan sorak sorai.

Sebagian menatap ke langit dengan senyum, sebagian lagi menatap ke sekeliling dengan rasa hangat.

Cahaya lampion mungkin akan padam dalam beberapa jam. Tapi semangat yang ditinggalkannya—semangat persatuan, kreativitas, dan cinta pada budaya—akan terus menyala. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini