OPINI: Efisiensi atau Pemotongan Anggaran Pendidikan, Solusi Berkelanjutan atau Ancaman Kualitas?
Oleh: Rafika (Mahasiswa Magister Komunikasi Penyiaran Islam Pascasarjana IAIN Palopo)
Pendidikan selalu menjadi sektor yang bersinggungan dengan kebijakan politik. Belakangan ini, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo ini bertujuan untuk menghemat anggaran negara dan meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan. Namun, banyak pihak mempertanyakan apakah kebijakan ini benar-benar mendorong efisiensi atau justru berujung pada pemotongan anggaran yang dapat mengancam kualitas pendidikan nasional.
Instruksi ini mendapat penolakan melalui demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap,” yang menyoroti berbagai persoalan struktural bangsa, termasuk dugaan pemotongan anggaran pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan penghematan di sektor pendidikan kerap menimbulkan kontroversi, terutama terkait dampaknya terhadap kualitas pembelajaran, kesejahteraan tenaga pendidik, serta akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.
Wakil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Prof Stella Christie dalam wawancara dengan Kompas TV menegaskan bahwa pemerintah hanya melakukan efisiensi, bukan pemotongan anggaran. Efisiensi ini, menurutnya, hanya menyasar aspek seremonial dan tidak akan berdampak pada Uang Kuliah Tunggal (UKT), Beasiswa KIP Kuliah, serta bantuan sosial lainnya. Ia juga menilai bahwa keresahan yang terjadi akibat demonstrasi “Indonesia Gelap” berakar dari miskomunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Namun, berdasarkan data yang diperoleh dari @narasinewsroom melalui kanal YouTube mereka, beberapa lembaga pendidikan tetap mengalami pengurangan anggaran. Pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), anggaran untuk pendidikan dasar dan menengah, misalnya, turun dari Rp 33,5 triliun menjadi Rp 25,5 triliun, atau mengalami efisiensi sebesar Rp 8 triliun.
Sementara itu, anggaran Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dari Rp 57 triliun menjadi Rp 34,5 triliun, dengan total efisiensi sebesar Rp 22,5 triliun. Perubahan signifikan ini menimbulkan pertanyaan: apakah efisiensi anggaran ini benar-benar efektif, ataukah justru berisiko menurunkan kualitas pendidikan nasional?
Sejumlah pihak menilai bahwa kebijakan ini dapat memberikan dampak positif dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih transparan dan bebas dari praktik korupsi, terutama dalam agenda-agenda seremonial. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga menuai kritik karena dinilai berdampak negatif terhadap kesejahteraan tenaga pendidik.
Guru honorer, misalnya, yang selama ini berjuang dengan gaji rendah, berpotensi semakin sulit mendapatkan insentif yang layak. Hal ini tentu dapat menurunkan semangat dan motivasi mereka dalam mengajar, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pembelajaran di sekolah negeri.
Pemotongan anggaran tanpa strategi yang matang juga berisiko menurunkan mutu pendidikan, terutama di daerah terpencil yang masih bergantung pada dukungan pemerintah. Salah satu dampak yang dapat terlihat adalah pengurangan subsidi bagi perguruan tinggi negeri (PTN), yang berpotensi meningkatkan UKT. Hal ini bisa memicu lonjakan angka putus kuliah di kalangan mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Dalam situasi ini, Inpres pemerintah bisa menjadi solusi berkelanjtan jika menjalankan secara strategi yang efektif dalam mengambil langkah konkret untuk memastikan kualitas pendidikan tetap terjaga. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain:
1. Pemanfaatan Teknologi, Digitalisasi dapat membantu mengurangi biaya operasional, misalnya dengan mengurangi ketergantungan pada buku cetak dan pelatihan konvensional. Pembelajaran daring yang efektif bisa menjadi solusi bagi daerah yang sulit dijangkau infrastruktur pendidikan.
2.Reformasi Birokrasi, Penyederhanaan prosedur administrasi dan pengawasan ketat terhadap penggunaan dana pendidikan dapat meningkatkan efektivitas anggaran, memastikan dana benar-benar digunakan untuk keperluan akademik dan kesejahteraan tenaga pendidik.
3. Kemitraan, Pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan perusahaan dan lembaga non-pemerintah untuk mendukung pembiayaan pendidikan, misalnya melalui program beasiswa atau penyediaan infrastruktur sekolah.
Menjadi catatan pula jika pemotongan anggaran pendidikan terus dilakukan tanpa strategi yang jelas, dampaknya bisa sangat luas. Negara berisiko kehilangan generasi muda berkualitas, kesenjangan sosial akan semakin melebar, dan daya saing tenaga kerja Indonesia di tingkat global dapat menurun. Demonstrasi “Indonesia Gelap” mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap merugikan masa depan generasi mendatang.
Mengacu pada gagasan besar Toto Rahardjo dalam bukunya Manusia Tanpa Sekolah, pemikiran mengenai pendidikan dalam lanskap ekonomi-politik memiliki keterkaitan erat dengan pengorganisasian masyarakat.
Artinya, pengorganisasian masyarakat harus dipandang sebagai proses sekaligus metode pendidikan yang bertujuan meningkatkan partisipasi aktif warga dalam dunia pendidikan.
Idealnya, pemerintah hadir untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan berdasarkan aspirasi masyarakat. Namun, realitas yang terjadi justru bertolak belakang. Alih-alih memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk bersuara, berbagai tindakan represif justru muncul, menghambat ruang partisipasi dan kebebasan berpendapat.
Pemerintah harus memahami bahwa pendidikan bukan sekadar sektor pengeluaran, melainkan investasi bagi pembangunan bangsa. Kebijakan penganggaran yang adil dan berpihak kepada rakyat adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap anak bangsa mendapatkan haknya atas pendidikan yang layak. Jika tidak, bayang-bayang kegelapan yang disuarakan dalam demonstrasi bisa menjadi kenyataan yang lebih menakutkan di masa depan. (*)
Tinggalkan Balasan