OPINI: Islam Menjamin Pendidikan Ummat 100%
Oleh: Dewi Balkis Uswatun Hasanah, S.Pd
Dunia pendidikan lagi-lagi dibuat kecewa dengan gagasan yang dilontarkan oleh pejabat negara. Wacana ini digagas oleh menteri keuangan, Sri Mulyani yang menyarankan kepada BANGGAR (Badan Anggaran) DPR agar mandatori spending anggaran pendidikan sebesar 20% yang selama ini dihitung berdasarkan dari belanja negara di ubah menjadi berdasarkan pendapatan negara.
Menurut Sri Mulyani, basis belanja wajib untuk anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN itu selama ini rancu karena tidak memperhitungkan kondisi riil belanja negara. Akibatnya, ketika kebutuhan belanja negara tengah tinggi yang disebabkan pelemahan kurs atau kenaikan harga minyak, mandatory spending itu harus terserap untuk kebutuhan belanja dalam rangka menopang belanja subsidi. Olehkarena itu, menurutnya perhitungan mandatory spending pendidikan yang sebesar 20% itu seharusnya bukan dari belanja negara, melainkan berdasarkan pendapatan negara.
Selanjutnya, gagasan Sri Mulyani ini disambut baik oleh Ketua Banggar DPR Said Abdullah. Dirinya mengatakan akan mengirimkan surat untuk memformulasi ulang ketentuan mandatory spending itu ke pimpinan DPR, supaya bisa dibahas di badan legislasi.
(CNBC Indonesia, Jakarta 4 September 2024)
Menuai Polemik
Menanggapi usulan Menkeu ini, wasekjen PKB Saiful Huda Anggita DPR komisi X menolak dengan tegas hal tersebut. Menurutnya otak atik anggaran pendidikan tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat 4 bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional.
Apalagi, menurut Huda, porsi anggaran wajib untuk pendidikan sebesar 20 persen justru masih dirasa belum cukup dalam mengakomodasi berbagai kebutuhan untuk meningkatkan kualitas serta pemerataan akses pendidikan di wilayah Indonesia, khususnya wilayah 3T. Huda pun menambahkan, jika diambil dari pendapatan negara, maka akan ada potensi anggaran pendidikan mengalami penurunan. Bahkan besaran penurunannya bisa mencapai 130 triliun.
Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) dalam acara diskusi publik bertajuk ‘Menggugat Kebijakan Pendidikan’ di Jakarta, Sabtu (7/9/2024). Jusuf Kalla berujar, hal paling utama yang harus dilakukan saat ini adalah mengefektifkan anggaran yang ada, bukan menggugat anggaran. (rri.co.id, Jakarta, 8 September 2024)
Turut menanggapi usulan Menkeu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menuturkan usulan perubahan acuan belanja wajib anggaran pendidikan berpotensi memperburuk kualitas pendidikan dan memperparah kesenjangan layanan pendidikan. Lebih parah lagi, akan berdampak pada menciutnya dana pendidikan di dalam APBN. Mengingat RAPBN 2025 telah ditetapkan defisit sebesar Rp616,18 triliun atau 2,53 persen dari produk domestik bruto (PDB) yang mana defisit tersebut merupakan yang tertinggi dalam sejarah transisi pemerintahan. Menurut Ubaid, jika pola keuangan negara defisit, maka dapat disimpulkan, besaran pendapatan negara pasti lebih kecil dibanding dengan komponen belanja. Sehingga jika pendapatan yang dijadikan acuan untuk membiayai pendidikan maka besaran porsi anggaran pendidikan nasional pasti akan ikut merosot.
Tak ketinggalan, pengamat pendidikan, Darmaningtyas, mengungkapkan pengurangan anggaran untuk pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, adalah sebuah kemunduran. Menurutnya, justru setiap tahun anggaran pendidikan harus ditingkatkan apalagi ditengah-tengah inflasi seperti saat ini.
(voaindonesia.com, 9/9/2024)
Anggaran Pendidikan Pada Dasarnya Sudah Mengalami Penurunan
Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, yang diselenggarakan pada bulan Agustus lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem memaparkan bahwa anggaran di kementeriannya turun dibandingkan tahun lalu.
Pada faktanya, anggaran pendidikan 2024 memang meningkat dari 665 triliun menjadi 722 triliun. Namun kata Nadiem, kementrian pendidikan hanya memperoleh 12 persen dari total anggaran tersebut, yakni sebesar 83,2 triliun. Kata Nadiem, jumlah ini lebih rendah Rp14,51 triliun dibandingkan pagu anggaran 2024, dan lebih rendah Rp15,8 triliun dibandingkan DIPA TA 2024.
Nadiem mengkhawatirkan, penurunan anggaran pendidikan ini akan menghambat berbagai program kerja dikementriannya.
(voaindonesia.com, 9/9/2024)
Otak-Atik Anggaran Pendidikan, Lumrah dalam Sistem Kapitalisme
Sudah menjadi pengetahuan publik, bahwa sistem keuangan negara Indonesia dikelola berdasarkan sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi dari peradaban barat. Dalam pengelolaan regulasinya, sistem ini hanya berdasarkan asas manfaat semata. Jika dirasa regulasi yang akan ditetapkan mendatangkan manfaat bagi pengampu kebijakan maka ditetapkanlah, sekalipun mendatangkan kerugian besar bagi rakyat. Sementara jika tidak mendatangkan manfaat bagi pengampu kebijakan, maka seberapapun pentingnya kebijakan tersebut bagi rakyat, maka penerapannya akan jauh api dari panggang.
Sementara, pendidikan bagi masyarakat adalah kebutuhan pokok yang harusnya menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Bahkan dalam undang-undang negarapun ditetapkan bahwa negaralah yang berkewajiban membiayai pendidikan masyarakat.
Namun jika dilihat dari segi manfaat bagi pengampu kebijakan dan para kapital yang berada dibelakang mereka, sepertinya membiayai pendidikan rakyat merupakan hal yang tidak mendatangkan manfaat bagi mereka bahkan malah dianggap beban dan merupakan hal yang merugikan bagi mereka. Sehingga, wajar saja jika anggaran pendidikan yang merupakan hak rakyat akan terus diotak-atik dan dipersoalkan.
Islam Menjamin Pendidikan Ummat seratus persen
Penerapan seluruh sistem Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rosulullah sallallahu a’laihi wasallam dan generasi setelah beliau, hanya akan kita jumpai dalam naungan Negara Islam yang disebut khilafah. Sejak berdirinya hingga berkuasa selama tiga setengah abad lamanya, Khilafah telah mencetak kegemilangan demi kegemilangan yang semakin bertambah seiring bertambahnya waktu dalam dunia pendidikan. Tercatat dalam sejarah yang tidak terbantahkan, disepanjang berdirinya Khilafah telah mencetak sangat banyak ilmuan dengan karya-karya gemilang yang bahkan karya-karya ilmuan dari masa kekhilafahan menjadi dasar lahirnya berbagai macam tekhnologi canggih di masa kini.
Bukan tanpa alasan, kegemilangan disepanjang masa kekhilafahan ini disebabkan karena satu-satunya sumber pengambilan hukum dalam Negara Khilafah berasal dari syariat Islam saja. Seluruh aspek kehidupan di atur Negara Khilafah dengan menggunakan sistem Islam yang berasal dari Sang Pencipta Allah Azza Wajjalla. Termasuk juga dalam menata sistem pendidikan yang melahirkan sangat banyak generasi unggul yang keunggulan mereka bahkan sulit tertandingi hingga saat ini.
Pendidikan di suatu negara tidak terlepas dari nuansa politik negara tersebut. Dalam Negara Khilafah, politik pendidikan Islam ditegakkan atas dasar prinsip-prinsip berikut.
Pertama, Islam memposisikan Khalifah (pemimpin Negara Khilafah) sebagai pelindung bagi rakyatnya yang kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subha wa ta’ala.
“Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Kedua, pendidikan dalam Islam merupakan salah satu kebutuhan mendasar (pokok) manusia. Islam memandang pendidikan merupakan perkara yang sangat vital bagi manusia dan untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Pendidikan dalam Islam tidak diukur dengan kacamata materialisme tetapi sebagai aktifitas amal yang akan menjadi bekal bagi manusia untuk menjalankan berbagai kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Subhana wa ta’ala.
dari Abu Musa, Rosulullah sallallahu a’laihi wasallam bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. ….”(HR Bukhari).
Olehkarena itu, Allah memerintahkan kepada Khalifah sebagai pemimpin negara untuk bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pendidikan rakyatnya. Tidak hanya pendidikan dasar saja, tapi seluruh jenjang pendidikan akan ditanggung oleh negara dalam Negara Khilafah. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.
Sistem Islam tidak memperbolehkan lembaga pendidikan dikelola oleh swasta. Posisi Khalifah bukan sebagai regulator melainkan sebagai pelaksana hukum-hukum Islam secara langsung.
Tinggalkan Balasan