OPINI: Pendidikan Politik Mesti Menjadi Agenda Politik Kita Bersama
Muh. Ari Fahmi
(Wakabid Ideologi & Politik DPC GMNI Kota Makassar)
Tahun ini merupakan tahun politik, berdasarkan penetapan KPU RI waktu pelaksanaan Pilpres dan Pileg ditetapkan pada tanggal 14 Februari kemudian Pilkada serentak di tetapkan pada tanggal 27 November 2024.
Pada momentum saat ini, sudah seyogianya kita ikut andil dan berpartisipasi secara gotong-royong dalam membangun gerakan kesadaran politik terkhususnya memulai pada lingkungan di sekitar kita.
Gerakan ini mesti kita kampanyekan secara massif agar kiranya figur-figur calon pemimpin ataupun representasi rakyat yang akan terpilih benar-benar memiliki spesifikasi kelayakan dalam mengisi ruang-ruang tersebut.
Maraknya pelanggaran dan berbagai bentuk kecurangan secara terstruktur dan terkoordinir berdasarkan rentetan sejarah kepemiluan kita menjadi problem yang mesti kita cegah terjadi secara berkelanjutan.
Kesadaran akan hal tersebut mestinya membuat kita menjadi garda terdepan dalam menjegal aktor politik yang rakus akan kekuasaan dan oknum-oknum korup untuk berkuasa.
Partai politik yang semestinya berkewajiban memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat tak lagi dapat kita harapkan, justru oknum kader-kader mereka lah yang kadang kala menjadi bagian dari pelaku.
Mereka hanya sibuk mencapai kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Proses kaderisasi demi terwujudnya kader-kader yang berintegritas telah terdegradasi.
Kualitas dan kapabilitas aktor-aktor politik yang bertarung bukan lagi menjadi kriteria utama parpol dalam memberikan mandat. Secara tak tertulis yang menjadi prasyarat utama yakni memiliki popularitas dan amunisi modal sebanyak-banyaknya.
Politik uang atau money politic yang menjadi isu krusial telah membudaya dan menjadi penyakit kepemiluan, mayoritas pemilih dalam menentukan pilihan bukan lagi berdasarkan track record dan gagasan para kandidat, melainkan ditentukan pada besaran angka nominal rupiah.
Inilah yang menjadi potensi akar masalah korupsi yang kian menjadi-jadi, tentunya aktor politik yang menggelontorkan dana yang begitu besar dalam proses keterpilihannya sudah barang tentu dalam satu periodesasinya hanya akan fokus melakukan pengembalian modal dan pengumpulan modal untuk pertarungan kedepannya.
Ketika praktik KKN telah terjadi apalah artinya kita mengkritisi dengan membangun gerakan demonstrasi turun ke jalan, yang belum tentu didengar dan dipedulikan. Selayaknya pada momentum saat inilah kita berperan demi memitigasi praktik tersebut terjadi kedepannya.
Agenda politik kita bersama, mengambil langkah-langkah kongkret dalam membangun gerakan pendidikan politik, bagaimana secara perlahan mencoba merubah mindset kebiasaan buruk yang telah menjadi pembenaran, sehingga dapat menjadi sebuah doktrin.
Indonesia maju hanya akan menjadi angan-angan belaka tanpa adanya kesadaran politik.
Indonesia emas yang di narasikan akan terealisasi di tahun 2045 dengan prediksi jumlah populasi usia produktif yang meningkat secara signifikan di tahun tersebut bisa saja akan menjadi malapetaka ketika kebobrokan sistem dan elite penguasa tak mampu mengakomodir potensi tersebut, sederhanannya jumlah pengangguran di tahun tersebut bisa saja akan membludak.
Pengoptimalisasian pembangunan dan pemberdayaan SDM tak akan berjalan ideal dengan masih massifnya praktik KKN yang secara berjamaah dilakukan dan dipertontonkan.
Akhir kata, “Kesewenang-wenangan akan menjadi karma atas keapatisan kita terhadap politik”.(*)
Tinggalkan Balasan