13 Oktober Hari Tanpa Bra, Ini Sejarah dan Asal Usul Kata BH
TEKAPE.co – Para perempuan aktivis kesehatan menyepakati 13 Oktober sebagai Hari Tanpa Bra atau No Bra Day.
Peringatan Hari Tanpa Bra atau No Bra Day bukan untuk hal vulgar. Tetapi sebagai bentuk dukungan Breast Cancer Awareness sedunia.
Para wanita diajak tidak memakai bra alias BH, selama sehari untuk mendukung dan memberi semangat kepada para penderita kanker payudara di seluruh dunia.
Jika dulu bra digunakan sebagai pelindung, namun kini seiring bergulirnya waktu, fungsi bra berevolusi menjadi penunjang penampilan wanita, agar nyaman dan aman selama beraktivitas.
Arti Kata Beha
Dalam Wikipedia, bra atau Beha bin Kutang adalah pakaian dalam yang biasa digunakan oleh manusia berjenis kelamin perempuan.
Beha juga ditulis BH atau biasa juga disebut Kutang atau Bra. Beha atau yang disingkat dengan BH merupakan kependekan dari Bahasa Belanda, yakni Buste Houder (BH), saat diserap dalam Bahasa Indonesia, tersisa hanya singkatannya saja.
Nama populernya di Indonesia adalah Kutang. Namun sekarang ini kata Bra sudah mulai menggeser kata Beha ini, kata yang berasal dari Bahasa Prancis, brassiere dan diterima dalam Bahasa Indonesia melalui Bahasa Inggris.
Sejarah Hari Tanpa Kutang atau No Bra Day
Sejarah awal mula No Bra day atau Hari Tanpa Bra dimulai tahun 2011, dimana pada waktu itu sekitar 30 negara di seluruh dunia merayakan hari pembebasan payudara alias ‘No Bra day’ selama 24 jam untuk meningkatkan kesadaran kesehatan payudara.
Hari tidak memakai bra ini dicetuskan oleh seorang ahli bedah plastik yang berpraktek di Toronto, Kanada, Dr Mitchell Brown.
Ia melihat, kesadaran kesehatan payudara wanita telah berkurang beberapa tahun terakhir.
Di Inggris, ‘No Bra Day’ dirayakan setiap tanggal 12-13 Oktober bertepatan dengan Bulan Kesadaran Kanker Payudara.
Sejarah Penemuan Bra
Kutang alias bra ternyata memiliki sejarah panjang. Laman Makassartoday menuliskan, ternyata pada masa penjajahan Belanda dulu, di hari pertama pengerjaan proyek pembuatan jalan pos Anyer-Panarukan, banyak budak pribumi baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja hanya mengenakan semacam cawat. Sedangkan bagian atas tubuh, mulai dari pusar hingga ke leher, telanjang.
Mandor yang bertugas di tempat saat itu, Don Lopez Comte de Paris -kaki tangan Daendels yang berkebangsaan Prancis- merasa risih melihat keadaan ini.
Ahirnya, ia memotong-motong suatu kain putih dan memberikannya kepada salah satu budak perempuan.
Sambil memberikan kain tersebut pada si budak, dia mengatakan, ”Tutup bagian berharga itu”. Don Lopez berbicara dalam bahasa Prancis ketika mengatakan hal itu. Dalam bahasa Prancis, berharga adalah coutant.
Budak perempuan itu tidak mengerti mengapa ia diberi kain putih, karena perempuan bertelanjang dada adalah hal yang biasa pada masa itu.
Don Lopez yang merasa jengkel, lalu menunjuk-nunjuk payudara budak tersebut sambil terus-menerus mengatakan Coutant! Coutant!.
Budak-budak pribumi yang melihat keadaan tersebut ahirnya mengerti bahwa kain putih itu dimaksudkan untuk menutup payudara wanita.
Dalam pemahaman mereka, kain putih yang dipakai untuk menutup payudara itu namanya adalah coutant. Atau, dalam ejaan Indonesia, kutang.
Sejak saat itu, lahirlah entri baru dalam bahasa rakyat, yaitu “kutang” yang bermakna kain pembungkus payudara. Sungguh berbeda dengan kata aslinya dalam bahasa Prancis “coutant” yang bermakna berharga. (net)
Tinggalkan Balasan