Seminar Budaya, Ini Pemicu Peristiwa 23 Januari di Tana Luwu
PALOPO, TEKAPE.co – Peristiwa 23 Januari 1946 merupakan hari bersejarah bagi Tana Luwu, Sulsel. Pada hari itulah, terjadi perjuangan besar-besaran yang dikenal dengan Hari Perjuangan Rakyat Luwu (HPRL).
Peristiwa itu kemudian diperingati setiap tahunnya yang secara bergilir empat daerag otonom menjadi tuan rumah peringatan yang dirangkaikan dengan Hari Jadi Luwu (HJL).
“Peristiwa Perjuangan Rakyat Luwu 23 Januari 1946, sebenarnya sama kadarnya dengan peristiwa 10 November di Surabaya, yang kemudian dikenal sebagai hari pahlawan. Peristiwa ini sama-sama mempertahankan Proklamasi kemerdekaan RI,” kata Opu Djemma Tongeng Kedatuan Luwu, Andi Abdullah Sanad Kaddiraja Opu To Sulolipu.
Hal itu disampaikan saat menjadi pemateri, pada Seminar Budaya Tana Luwu, dengan tema, Reaktualisasi nilai-nilai kejuangan Kedatuan Luwu dalam upaya mengembalikan harkat martabat dan marwah Datu Luwu dan Kedatuan Luwu, di Merdeka Convention Hall (MCH), Jumat 19 Januari 2018.
Ia juga mengungkapkan, peristiwa 23 Januari 1946 itu bukan peristiwa sekonyong-konyong, namun merupakan perlawanan terhadap penjajah yang direncanakan sejak lama dan terorganisir.
Lalu apa pemicu perlawanan besar-besaran itu, menurut Andi Sanad, peristiwa 23 Januari itu dipicu terbunuhnya tentara KNIL bernana Kopral Sirof oleh seorang anak muda bernama Andi Sulthani di Bua. Ia ditikam dari depan saat tertangkap di Bua.
Atas peristiwa itu, kemudian tentara KNIL menyerang dan masuk ke masjid. Disanalah terjadi perobekan Alquran di dalam masjid. Itulah menjadi pemicu kemarahan orang Luwu, dan terjadilah perlawanan secara besar-besaran.
“Dari peristiwa itulah bisa kita lihat, kalau mau melihat orang Luwu marah, maka koyaklah budaya dan agamanya,” tandas Andi Sanad.
Bermula dari situlah, terjadi perlawanan sengit dan pasukan pemuda saat itu sempat menguasai Palopo saat itu.
Dalam peristiwa yang disebut paling heroik itu, Datu Luwu Andi Djemma terpaksa diamankan, namun akhirnya tertangkap.
Satu ungkapan Datu Luwu Andj Djemma yang paling terkenal terkait peristiwa ini adalah saat didatangi tentara NICA di Istana Kedatuan Luwu, lalu Datu Luwu diminta menurunkan bendera merah putih, Datu Luwu hanya menjawab, “Kalau saya turunkan bendera merah putih itu, pasti saya akan dibunuh oleg rakyatku. Tapi jika saya tidak menurunkan bendera merah putih itu, maka saya akan dibunuh oleh tuan-tuan. Jika itu pilihannha, maka saya lebih baik dibunuh oleh tuan-tuan dari pada saya dibunuh oleh rakyat ku sendiri.” (del)
Tinggalkan Balasan