Puasa (tak) Tergantung Salat dan Zakat
Oleh : Abbas Langaji
(Dosen IAIN Palopo)
SEJAK awal-awal Ramadan, di masyarakat awam kita biasa mendengar pernyataan “untuk apa berpuasa bila tidak shalat.”
Seakan-akan ibadah puasa menjadi tidak sah bila tidak diiringi dengan pelaksanaan shalat fardhu lima waktu.
Ungkapan tersebut biasanya disampaikan kepada seseorang yang berpuasa, namun malas melaksanakan shalat fardhu lima waktu.
Di akhir-akhir Ramadhan, akan muncul ungkapan yang lain: “Tidak ada gunanya berpuasa bila tidak melunasi zakat fitrah, karena pahala ibadah puasa akan tergantung di antara langit dan bumi bila belum melunasi akat fitrah.”
Ada ‘pemahaman’ sebahagian masyarakat bahwa seakan-akan ibadah puasa itu tidak mandiri, keabsahannya tidak berdiri sendiri, namun dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah yang lainnya.
Dalam pengertian sah-tidaknya, diterima atau ditolaknya pahala ibadah puasa masih tergantung pada hal lain di luar ibadah puasa; dalam hal ini shalat lima waktu dan penunaian zakat fitrah.
Sejauh mana kebenaran kedua pernyataan tersebut, berikut ini akan penulis menjelaskannya secara singkat satu per satu.
Pernyataan pertama: “Apakah pahala puasa tergantung shalat?”
Saya tidak tahu persis asal-usul latar belakang pernyataan tersebut, dan atau argumen yang mendasarinya. Boleh jadi pernyataan tersebut muncul hanya berdasarkan motif penuturnya yang mendorong orang-orang agar mulai membiasakan shalat lima waktu.
Tapi pada saat yang sama, karena kesan tidak sah puasa bila tidak puasa, maka pada waktu dhuhur dan ashar masjid-masjid ramai dengan orang berpuasa yang datang ke masjid untuk menyempurnakan puasanya dengan shalat berjamaah, agar sah dengan shalat; tapi setelah Ramadhan, karena sudah bukan bulan puasa, maka masjid kembali sepi; dengan demikian pernyataan tersebut berkontribusi membentuk kesalehan musiman.
Bahwa pernyataan itu dikemukakan agar iman-Islam seseorang semakin baik, karena di samping melaksanakan ibadah puasa juga sekaligus mulai mendawamkan pelaksanaan shalat lima waktu; dari sisi itu bagus, tapi tidak cukup untuk menjadikan shalat syarat bagi sahnya ibadah puasa atau syarat diterima pahala puasa.
Di dalam fiqh Islam, dijelaskan bahwa rukun puasa hanya dua: (1) niat berpuasa, (2) menahan diri (dari makan-minum dan segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak masuknya waktu imsak hingga saat berbuka puasa); tidak ada disebutkan shalat lima waktu, baik sebagai syarat maupun sebagai rukun;
Ketika seseorang hamba melaksanakan salah satu jenis dari ibadah-ibadah mahdhah, sudah memenuhi syarat-syaratnya, dan melaksanakan semua rukun-rukunnya, maka berdasarkan hukum fiqh ibadahnya tersebut sah, dan gugur kewajiban.
Bila seseorang yang berpuasa dengan atau tanpa melaksanakan shalat fardhu lima waktu, selama memenuhi semua syarat dan rukunnya, maka berdasarkan hukum fiqh tsb. puasanya sah.
Memotivasi sesama muslim untuk membiasakan melaksanakan shalat lima waktu secara berkesinambungan tidak harus dengan menyatakan keterkaitannya dengan sah atau tidaknya ibadah puasa, karena di luar bulan Ramadhan pun ibadah shalat lima waktu sudah menjadi kewajiban rutin.
Apalagi ada hadis riwayat Imam Muslim dan lain-lain yang menyatakan bahwa “batas antara seorang muslim dan kekufuran adalah shalat, maka siapa yang meninggalkan shalat berarti dia telah kafir.”
Zakat dan Puasa
(Biasanya) di akhir-akhir Ramadhan akan muncul ungkapan yang lain: “tidak ada gunanya berpuasa bila tidak melunasi zakat fitrah, karena pahala ibadah puasa akan tergantung di antara langit dan bumi bila belum melunasi akat fitrah.”
Boleh jadi ungkapan seperti ini muncul dari kalangan yang bermaksud menggalakkan pengumpulan zakat, dengan maksud memotivasi umat Islam untuk menyegerakan membayar zakat fitrah, agar sekaligus mempercepat proses distribusinya kepada para mustahiq.
Pernyataan bahwa “Pahala ibadah puasa akan tergantung antara langit dan bumi hingga dibayarkannya zakat fitrah.” sesungguhnya tersebut berdasarkan satu hadis Nabi saw.; yaitu sebagai berikut:
Dari Jabir ra., Rasulullah saw. bersabda: “Pahala ibadah puasa itu tergantung antara langit dan bumi, dan tidak diangkat kepada Allah sebelum dibayarkan zakat fitrahnya.”
Hadis tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis mu’tabar, baik al-kutub al-sab’ah (tujuh kitab hadis pokok) maupun al-kutub al-tis’ah (Sembilan kitab hadis pokok). Hadis yang dijadikan dasar pernyataan tersebut terdapat dalam kitab al-Jami’ al-Shagir (karya Imam al-Suyuthi), yang penulisnya kutip dari kitab al-Targhib karya Ibn Syahin.
Imam al-Suyuthi sendiri sudah menyatakan bahwa hadis tersebut dhaif; Ibn Hajar al-‘Asqalani, Ibn Jawzi, al-Albani, dan lain-lain menyatakan bahwa hadis tersebut dhaif, bahkan ada yang menilainya mawdhu (palsu).
Masyarakat tidak pernah mempersoalkan kualitas hadisnya, karena mereka merasa rugi apabila pahala ibadah puasa mereka tergantung (gentayangan) antara lagit dan bumi karena tidak menunaikan zakat fitrah.
Namun demikian, karena pernyataan tersebut didasarkan atas hadis dhaif (lemah) atau mawdhu (palsu) maka dia menjadi masalah: bukankah hadis dhaif tidak bisa dijadikan hujjah dalam agama.
Walaupun merupakan satu system dalam rukun Islam, ibadah mahdhah tersebut (shalat, zakat, puasa, dan haji) bersifat independen, sah atau tidaknya tergantung pada kesempurnaan syarat-syarat dan rukun-rukun-rukunnya, bukan keterkaitannya dengan pelaksanaan ibadah lain.
Ketika seseorang hamba melaksanakan salah satu dari ibadah-ibadah mahdhah, sudah memenuhi syarat-syaratnya, dan melaksanakan semua rukun-rukunnya, maka berdasarkan hukum fiqh ibadahnya tersebut sah, dan gugur kewajiban.
Bila seseorang sudah menyempurnakan jumlah ibadah puasa Ramadhan dengan atau tanpa membayar zakat fitrah, sudah gugur kewajibannya terhadap ibadah puasa tersebut; persoalan pahala puasa diterima atau ditolak itu adalah rahasia Allah swt. dan sepenuhnya menjadi hak prerogative-Nya.
Salat, Puasa, Zakat
Bagaimana pun shalat-puasa-zakat (dan haji) membentuk satu system yang disebut dengan rukun Islam.
Antara satu dengan lainnya memiliki karakteristik yang tidak perlu disanding-bandingkan; tidak bijak bila menganggap ibadah yang satu lebih istimewa dari pada yang laen (apapun dasarnya!); keempat-empatnya memiliki keistimewaan yang melekat pada dirinya dan karakteristik yang tidak ada pada yang lainya;
Tidak bijak menyebut shalat lebih istimewa daripada puasa atau zakat lebih istimewa dari pada haji, dan seterusnya.
Islam yang sempurna bila keempat ibadah madhah yang menjadi rukun Islam tersebut telah dilaksanakan (kecuali ibadah haji yang mensyaratkan istita’ah, kemampuan melaksanakan perjalanan); muslim yang baik adalah yang sudah melaksanakan rukun-rukun Islam tersebut tanpa membeda-bedakannya.
Bukan kah Allah memerintahkan kita memeluk Islam secara kâffah, yang salah satu pengertiannya melaksanakan rukun-rukunnya secara keseluruhan, tidak mengistimewakan salah satu rukun Islam atas rukun Islam lainnya. (*)
Tinggalkan Balasan