OPINI: Rizieq Shihab, Dari Juru Parkir Hingga Juru Selamat
Oleh: Busri
(Pegiat IMMovement Institute PC IMM Kota Makassar)
PERTAMA, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada kakanda Andi Luhur Prianto, karena atas diskusi dengannya lahirlah tulisan ini.
Kedua, saya ingin mengingatkan kepada anda semua bahwa tulisan ini bukan ingin menceritakan biografi Habib Rizieq, apalagi jika Anda berfikir bahwa Habib Rizieq pernah menjadi juru parkir. Tidak sama sekali.
Seperti yang saya tulis di awal, tulisan ini lahir dari diskusi bersama Kakanda Andi Luhur Prianto dengan tajuk #NgajiPolitik berkaitan dengan tema “Habib Rizieq Shihab Pulang, Indonesia Bergoyang?”
Diskusi itu diadakan pekan lalu, pada 25 November 2020 via Zoom Meeting yang diadakan oleh IMMovement Institute (baca: Institut Pergerakan IMM) PC IMM Kota Makassar.
Analisa Kuasa Politik (Political Power) Habib Rizieq, Pengeritik teori kekuasaan Steven Lukes dalam bukunya, Power: A Radical View, 1974 mengemukakan pandangan radikalnya terhadap kekuasaan.
Lukes yang juga mengkritik Robert Dahl (Teoritikus Kuasa Politik awal) mengenalkan pandangan wajah ketiga atau dimensi ketiga kekuasaan (Three-dimensional View of Power).
Berikut saya akan mengkontekstualisasikan teori kekuasaan Steven Lukes dengan tokoh Habib Rizieq dalam wacana kuasa politik (political power).
Pertama, Power dalam wajah decision making dipahami sebagai ketundukan aspek behavioral dari pihak yang satu oleh sebab pengaruh pihak yang selainnya.
Meski dalam keadaan pandemi yang mengharuskan untuk tidak berkerumun, namun kerumunan massa pendukung Habib Rizieq Shihab ternyata sudah memenuhi Bandara Soekarno-Hatta sejak Selasa 10 November 2020 dini hari untuk menyambut kepulangannya.
Bahkan, Menkopolhukam Mahfud MD meminta aparat keamanan tidak berlebihan menangani kepulangan Rizieq Shihab.
Ia menyebut kalau pihak berwenang cukup melindungi Habib Rizieq Shihab agar sampai selamat ke rumahnya tanpa alami tindakan represif.
Rizieq Shihab punya wajah ketiga dari kekuasaan (power) yang bersifat ideologis dimana kekuasaan tidak perlu ada exercise power secara berlebihan tetapi bisa membentuk preferensi orang sehingga orang itu melakukan sesuatu secara sukarela.
Seperti yang kita lihat kemarin. Ribuan massa pendukung/ simpatisan Rizieq Shihab tergabung penuh riuh begitu menjemput kepulangannya di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Penerbangan lain sampai harus ditunda beberapa jam (3 sampai 4 jam) untuk penyambutan Rizieq Shihab.
Dan kepulangannya pun dipentaskan seperti kepulangan Ayatollah Ruhollah Khomeini dari Prancis pada 1 Februari 1979 untuk memimpin Revolusi Iran.
Dari Juru Parkir hingga Juru Selamat membincangkan Rizieq Shihab yang fenomenal nan kontroversial saat ini baiknya dalam ruang diskusi sehat yang tanpa tendensi, kedengkian dan pemujaan berlebih.
Namun, secara objektif dalam perspektif politik, Rizieq Shihab punya basis massa yang jelas dan kuat serta terorganisir dengan baik dalam Front Pembela Islam (FPI) dan organisasi-organisasi sampirannya seperti Persatuan Alumni 212 (PA-212) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa atau GNPF-Ulama.
Bahkan, Rizieq Shihab pernah memimpin gerakan protes massa terbesar dalam sejarah tanah air ini.
Dia mengorganisir massa dalam jumlah ribuan bahkan jutaan untuk mendukung demonstrasi dalam tajuk Aksi Bela Islam II.
Gerakan tersebut berhasil menjatuhkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama hingga berakibat pada pemenjaraan.
Habib Rizieq mungkin akan terus menciptakan manuver-manuver dalam lanskap politik nasional kedepannya.
Dia tetap memiliki organisasi yang rapi dan senantiasa memberdayakan orang-orang yang mungkin seumur hidupnya tidak pernah berkuasa meski konsekuensinya mungkin tidak disukai sebagian orang.
Seperti juru parkir yang setiap hari melayani pengendara mobil, tapi berubah menjadi pemilik otoritas di jalanan ketika berseragam FPI.
Kepulangannya ke Indonesia bisa ditafsir sebagai bentuk manuver politik dalam lanskap politik nasional ketika fenomena regresi demokrasi global terjadi (pemimpin terpilih cenderung otokratis dan tidak demokratis).
Juga gerakan berbasis keagamaan saat ini mengalami ‘ketidakpastian’ atau ibarat kekosongan (tidak ada tokoh atau pemimpin yang bisa memberi harapan).
Rizieq Shihab tokoh yang karismatik, orator ulung serta organisatoris yang lumayan handal. Sehingga tidak heran pendukung-pendukungnya memuja dirinya seperti seorang juru selamat.
Masa depan Politik Islam dan Gerakan Berbasis Keagamaan
Pandangan Steven Lukes tentang wajah/ dimensi kekuasaan di atas tidak bisa dicerna begitu saja, meski tokoh sebesar Rizieq Shihab sulit untuk diabaikan secara politik.
Kalau kekuasaan (power) sekedar dimaknai sebagai yang punya wajah, maka kekuasaan selalu bersifat binary (hitam-putih), dimana kekuasaan hanya dilihat dari orang yang berkuasa atau yang tidak berkuasa.
Seakan-akan orang yang tidak punya kekuasaan itu sama sekali tidak berdaya apapun juga dalam agenda-agenda yang ada.
Itulah realitas politik yang terjadi sejak 2014 lalu, politik dalam pandangan oposisi biner kian menghancurkan, gairah-gairah politik ‘atas nama’ umat Islam kian menguat tapi tidak sejalan dengan kebijakan yang partai-partai tersebut bawa di parlemen.
UU yang melindungi muslimah dari kekerasan seksual tak juga disahkan, sementara peraturan yang melegalkan penindasan terhadap pekerja muslim dan muslimah berjalan mulus.
Mereka juga mengalihkan isu omnibus law dan korupsi ke moralitas dan kebencian terhadap identitas tertentu.
Partai dan gerakan Islam yang kian berjarak ini menjadikan mereka kian tidak relevan, kecuali sebagai tukang stempel oligarki yang tidak peduli dengan nasib umat.
Menarik kita tunggu apa yang akan dilakukan oleh Rizieq Shihab dalam waktu mendatang dan bagaimana respon negara terhadapnya.
Apakah dia akan konformistis dengan penguasa sekarang untuk melapangkan jalan ke Pilpres 2024.
Atau bisa saja Rizieq Shihab menjadi politisi normal, dengan berdiam diri dan menunggu selama beberapa tahun untuk memperkuat organisasinya, bahkan membuat partai sendiri yang bernafas Islam dan memperjuangkan nasib umat – yang jumlahnya banyak itu.
Billahi fii sabililhaq, Fastabiqulkhaerat. (*)
Tinggalkan Balasan