OPINI: Mudik dan Solusi Islam di Bidang Transportasi Publik
Oleh: Ratih Najiyah, S.Pd.
(Guru dan Aktivis Dakwah di Palopo)
MUDIK. Satu kata yang tak bisa dilewatkan ketika menjelang dan ba’da lebaran. Pun menjelang dan habis tanggal 1 Syawal kali ini. Berbondong-bondong masyarakat di perkotaan pulang kampung (pulkam).
Tujuannya, silaturahim dan berkumpul sanak saudara di kampung halaman. Menyenangkan memang. Mereka melakukan perjalanan menggunakan berbagai moda tranportasi, baik darat, laut dan udara.
Sayang setiap tahun, mudik selalu meninggalkan cerita yang memprihatinkan. Apa itu? Musibah kecelakaan. Tragedi brexit tahun 2016 dan KM Sinar Bangun tahun 2018 hanyalah puncak gunung es kelabunya transportasi lebaran.
Selain mahal, transportasi lebaran juga selalu jauh dari sebutan aman, manusiawi dan rasa nyaman bagi setiap orang. Karenanya angka kecelakaan dari tahun ke tahun selalu saja tinggi, ratusan jiwa melayang sia-sia.
Dikhawatirkan para pengamat pada tahun ini pun tetap demikian. Sehubungan harga tiket pesawat yang sangat mahal sehingga publik beralih dari angkutan udara yang relatif lebih aman ke angkutan darat dan laut dengan berbagai resiko, di samping tingginya pengguna kendaraan roda dua yang sangat rawan kecelakaan.
Menurut Menhub Budi Karya Sumadi, dua tahun berturut-turut (2017-2018) tercatat rekor kecelakaan 75 persen dikarenakan motor.
Apakah pemudik menggunakan motor menjadi nol? Tentu tidak. Soalnya, ketika permintaan untuk menggunakan transportasi umum menjadi tinggi , tidak bisa dihindari adanya kenaikan harga tiket bus, kapal atau pun pesawat.
Ketika kemampuan kocek tak sanggup menjangkaunya, maka pilihan menggunakan motor menjadi solusi.
Inilah buah liberalisasi transportasi publik yang berlangsung di tangan rezim neolib, khususnya transportasi lebaran. Yakni, ketika rezim hadir sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme.
Sungguh fakta menyakitkan ini tidak akan pernah terjadi dalam sistem kehidupan Islam, khilafah Islam. Yang mengharamkan penguasa sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dan agenda liberalisasi kafir penjajah.
Fakta sejarah membuktikan para khalifah membangun jalan-jalan raya yang luas dan nyaman untuk memenuhi transportasi publik hingga ke pelosok negeri.
Moda angkutan tersedia secara memadai dan diberikan secara cuma-cuma. Jaminan keamanan, kemanusiaan yang tinggi serta kenyamanan diperuntukan bagi setiap orang, bahkan bagi hewan sekalipun.
Kunci semua ini adalah ketika penguasa hadir sebagai pelaksana syariah secara kaaffah dalam bingkai khilafah.
Liberalisasi : Akar Masalah transportasi
Liberalisasi transportasi publik pada aspek infrastruktur secara kasat mata terlihat dari maraknya pembangunan jalan raya berbayar (tol) selama satu dekade terakhir.
Sementara jalan raya nasional, provinsi hingga desa yang menjadi kebutuhan publik banyak yang ditelantarkan.
Demikian juga tampak dari maraknya pembangunan bandara dan pelabuhan internasional yang semua itu berbayar mahal.
Akibatnya sangat fatal, alih-alih melayani, rezim berkuasai justru menfasilitasi korporasi dan negara kafir penjajah menjadikan publik sebagai objek eksploitasi bisnis dan berbagai kepentingan politik mereka. Tampak dari mahalnya berbagai tarif yang harus dibayar.
Seperti tarif tol Bakauheni-Termanggi Besar, Rp 112.500 untuk kenderaan golongan I; Rp 168.500 untuk kenderaan Golongan II dan III; dan Rp 224.500 untuk Golongan IV dan V.
Penetapan tarif ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 305/KPTS/M/2019 tentang Penetapan Golongan Jenis Kendaraan Bermotor dan Besaran tarif Tol Jalan tol Bakauheni-Terbanggi Besar (Kompas.com. 4 Mei 2019).
Sedangkan Tol Trans Jawa yang diduga kuat sebagai lintasan favorit mudik lebaran dengan panjang 965 kilometer berbayar penuh, dengan tarif Merak –Surabaya Rp 723.500 (Kompas.com, 14 Mei 2019).
Penting dicatat, tarif tol Indonesia khususnya Tol Trans Jawa sebagaimana dikeluhkan publik adalah termahal di ASEAN. Yakni Rp 2.264,6/km (tirto.co.id).
Sedangkan Tol Jakarta-Cikampek setelah menggunakan sistem terbuka penuh, dari Karawang Barat ke Karawang Timur melambung luar biasa. Sebelumnya untuk kendaraan Golongan I Rp 2.500 berubah menjadi Rp 12.000, dan Golongan II dari Rp 4. 000 mejadi Rp 18.000 (bisnis.com, 27 Mei 2019).
Adapun dampak liberalisasi moda/ angkutan transportasi yang sangat dirasakan pada liburan lebaran tahun ini adalah kenaikan harga tiket pesawat yang diluar daya beli masyarakat umumnya.
Padahal, angkutan udara selama beberapa tahun terakhir menjadi andalan para pemudik. Karena selain lebih terjamin keamanan dan nyaman angkutan udara juga lebih cepat mengantarkan ke tempat tujuan.
Seperti rute Jakarta-Padang di tanggal 28 Mei hingga 3 Juni 2019 sold out dan tersisa tanggal 4 Juni Rp 4,6 Juta, dan Jakarta Medan dengan maskap Garuda yang tersisa kelas bisnis dengan harga Rp 9.942.600 (detik.com.)
Sementara daya beli masyarakat Rp 1 juta-1,5 juta berdasarkan hasil riset LM FEB UI terhadap Affordability to Pay (ATP/ Keterjangkauan untuk Membayar) dan Willingness to Pay (WTP/ Kesediaan untuk Membayar) (detik.com).
Harga ini melebihi harga tiket ke luar negeri. Sementara harga tiket angkutan kereta api, bis dan kapal juga tidak dapat dikatakan murah.
Tidak saja mahal, jalan-jalan raya berbayar yang dibangun tidaklah didesain untuk memenuhi hajat hidup publik, termasuk hajat publik terhadap infrastruktur jalan raya saat liburan lebaran dengan peningkatan signifikan volume kendaraan.
Akibat macet parah di sejumlah titik hingga puluhan kilometer dan puluhan jam harus ditanggung masyarakat. Penderitaan yang alami luar biasa, mulai dari kepanasan berjam-jam, tidak ada fasilitas istirahat hingga buruknya fasilitas toliet.
Inilah fakta transportasi publik era rezim neoliberal, yang tunduk pada agenda hegemoni globalisasi liberalisasi.
Perannya sebagai regulator membuat nasib jutaan pemudik dalam undian nafsu serakah kaum kapitalis. Yang tersisa hanyalah derita tahunan bagi jutaan orang.
Sungguh, liberalisasi transportasi publik telah berakibat fasad yang harus segera diakhiri.
Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan, yang artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar-Islam)”. (Terjemahan Quran surat Ar Rum [30], ayat 31)
Solusi Islam
Islam adalah satu-satunya solusi bagi semua persoalan kehidupan insan, tak terkecuali persoalan transportasi publik.
Semua itu telah dibuktikan selama berabad-abad, sebagaimana diukir oleh tinta emas sejarah peradaban Islam.
Buah penerapan sistem kehidupan Islam, khususnya sistem politik Islam dan sistem ekonomi Islam. Setidaknya terdapat delapan paradigma sahih tentang transportasi publik.
Pertama, berbeda dengan pandangan barat, dalam pandangan Islam transportasi publik bukan jasa komersial akan tetapi hajat dasar bagi keberlangsungan aktivitas kehidupan normal setiap insan, baik yang bersifat rutin maupun insidental seperti pada liburan lebaran.
Ketiadaannnya akan berakibat dharar/penderitaan yang diharamkan Islam. Artinya, “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh dibahayakan” (Terjemahan HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Kedua, negara berfungsi sebagai pihak yang bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya menjamin akses setiap individu publik terhadap transportasi publik yang aman, nyaman (manusiawi) serta murah/gratis.
Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apapun alasannya.
Ketiga, Islam melarang keras transportasi publik dikuasai individu atau entitas bisnis tertentu apa lagi asing kafir penjajah seperti saat ini.
Baik infrastruktur jalan raya, bandara dan palabuhan dengan segala kelengkapannya, maupun sumberdaya manusia transportasi berupa pengemudi angkutan (pilot, masinis, sopir dan kapten).
Hal ini karena ditegaskan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang artinya, “Siapa saja yang mengambil satu jengkal saja dari jalan kaum muslimin, maka pada hari kiamat kelak Allah subhanahu wa ta’ala akan membebaninya dengan beban seberat tujuh lapis bumi” (Terjemahan HR Iman Thabrani).
Keempat, tidak dibenarkan menjadikan jalan umum sebagai sumber pemasukan. (Zalum, Abdul Qadiim. Al Amwaal Fii DaulatilKhilafah. Darul Ummah. Beirut Libanon. 2004. Hal 106, 134-44).
Kelima, sebaliknya, wajib digunakan anggaran mutlak. Yakni, ada atau tidak ada kekayaan negara yang diperuntukkan untuk pembiayaan transportasi publik yang ketiadaannya berdampak dharar bagi masyarakat, maka wajib diadakan negara.
Salah satu sumber kekayaan negara yang jumlahnya berlimpah di negeri adalah barang tambang yang jumlahnya seperti air mengalir (Zalum, Abdul Qadiim. Al Amwaal Fii DaulatilKhilafah. Darul Ummah. Beirut Libanon. 2004. Hal 104-106).
Anggaran ini dibutuhkan untuk pengadaan moda transportasi darat, laut dan udara yang memadai secara kualitas dan kuantitas.
Demikian pula untuk pembangunan Infrastruktur transportasi seperti jalan umum, rel, halte, pelabuhan, terminal, stasiun, dll.
Keenam, pembangunan infrastruktur transportasi mutlak mengacu pada politik dalam negeri negara khilafah, bukan agenda hegemoni globalisasi liberalisasi.
Di samping itu harus diperhatikan pemanfaatan teknologi terkini dan keselarasan moda transportasi (darat, laut, udara) dengan kondisi geografi Indonesia sebagai negeri kepulauan terbesar dengan 17 ribuan pulau.
Ketujuh, keamanan jiwa setiap orang harus terjamin. Sebab, mengabaikan nyawa satu orang sama saja mengabaikan nyawa semua orang, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala tegaskan dalam Quran Surat Al Maidah [5] ayat 32, yang artinya, “…bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seolah-olah ia telah membunuh semua manusia..”. ;
Demikian pula aspek kemuliaan dan terjaminnnya aspek kemanusiaan setiap orang. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam Quran Surat Al Isra [17]: Ayat 70, yang artinya, “Dan, sungguh Kami telah memuliakan anak cucu adam..”;
Juga harus terjaminnnya aspek kenyamanan, sebab ditegaskan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang artinya, “Jika kalian berselisih dalam masalah jalan maka buatlah lebarnya 7 hasta” (Terjemahan HR Muslim).
Kedelapan, strategi pelayanan mengacu pada 3 prinsip utama. Yakni: a. Kesederhanaan aturan; b. Kecepatan dalam pelayanan; c. Dilakukan oleh person yang capable.
Sebab Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal…” (Terjemahan HR Muslim) (Hizbut Tahrir. Ajhizatu Daulatil Khilafah (Fil Hukmi Wal Idaarah). Darul Ummah. Darul Ummah-Beirut. 2005. Hal 133).
Keseluruhan prinsip-prinsip tersebut, sebagai bagian integral yang menyatu dengan sistem kehidupan Islam, hanya compatible (serasi) dengan sistem kehidupan Islam.
Karenanya, kembalinya kehidupan Islam, khilafah Islam merupakan kunci solusi persoalan liberalisasi transportasi publik dan berbagai agenda hegemoni lainnya.
Bahkan kebutuhan mendesak bagi bangsa ini. Tidak saja untuk mudik lebaran yang aman, manusiawi, dan nyaman lagi percuma-cuma bagi setiap orang lebih dari pada itu, Khilafah adalah ajaran Islam yang diwajibkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita semua. Wallahu A’lam Bissawab. (*)
*( Opini ini diterbitkan atas kerjasama Komunitas Wonderful Hijrah Palopo dengan Tekape.co. Isi dan ilustrasi di luar tanggungjawab redaksi.
Tinggalkan Balasan