OPINI: Konspirasi Corona dan Para Koruptor
Oleh: Muh Khalifah P HW
(Ketua Bidang Hikmah Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Kota Makassar & Ketua Korkom IMM Unismuh Makassar)
DUNIA kini sedang dilanda wabah Pandemi Virus Corona COVID-19, yang sampai saat ini menjadi kasus terbesar yang belum terpecahkan.
Diambil dari peta Coronavirus COVID-19 Global Cases by Johns Hopkins CSSE, korban kasus COVID-19 di dunia jumlahnya sudah mencapai 1.100.283 per Sabtu 4 April 2020, siang.
Dari angka tersebut, 58.929 telah meninggal dunia sedangkan kasus sembuhnya sudah mencapai 226.669.
Indonesia saat ini sudah sebanyak 2.092 jiwa yang dinyatakan positif. Dimana 150 jiwa dinyatakan sembuh, 191 telah meninggal, dan diperkirakan akan terus bertambah jumlahnya.
Jika melihat presentase masyarakat yang terpapar setiap harinya, maka bisa diprediksi akan terus membludak, dan akan sulit ditangani dikemudian hari.
Kebijakan pemerintah menjadi sangat penting untuk menentukan, apakah ancaman pandemi ini bisa dihentikan.
Salah satu kebijakan pemerintah adalah membatasi kegiatan yang ramai dengan melakukan social distancing, dan kemudian berubah menjadi fisical distancing.
Situasi lapas dan rutan yang secara umum over kapasitas, sehingga sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan Narapidana dalam menekan kepadatan Narapidana di rutan dan lapas.
Hal ini dilakukan berdasarkan Permenkumham No.10 tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan.Peraturan tersebut mengatur pembinaan terhadap narapidana tindak kejahatan berat seperti korupsi.
Salah satu poin yang diusulan perihal kriteria narapidana yang bisa keluar atau dibebaskan adalah Koruptor yang berusia di atas 60 tahun, dengan kata lain lebih rentan terpapar COVID-19 dan sudah menjalani dua per tiga masa tahanan.
Pembebasan napi korupsi tidak relevan dengan tujuan besar menghambat penyebaran COVID-19 di lapas/rutan karena angkanya sangat kecil dibanding kejahatan lain.
Merujuk data Kemenkumham tahun 2018, dari 248.690 narapidana, yang tersangkut korupsi ‘hanya’ 4.552 atau sekitar 1,8 persen.
Juga tentang populasi penjara dan rutan di Indonesia yang terlalu padat yang mana dapat menyebabkan penyebaran Covid-19 tentunya tidak bagi napi korupsi bahkan jika kita melihat.
Justru seringkali kita jumpai di lapas-lapas, napi korupsi dapat keistimewaan khusus, bahkan selnya lebih besar dibanding napi yang lainnya. Mereka justru lebih aman ketimbang harus di bebaskan
Pembebasan napi korupsi ini jelas sangat diskriminatif, elitis dan seakan-akan ada konspirasi di dalamnya.
Karena jikalau kita ingin membandingkan fasilitas yg di dapatkan napi korupsi dengan yang lainnya tentu sangat berbeda dan diskriminasi.
Kebijakan membebaskan napi koruptor ini hanyalah suatu konspirasi dan akal-akalan saja. Apatalagi, ini bukan kali pertama Kementerian Hukum dan HAM berupaya untuk meringankan hukuman koruptor lewat revisi peraturan perundang-undangan.
Catatan ICW mengatakan selama 2015-2019 menteri Yasona sudah empat kali mengatakan mau merevisi PP 99 th 2012 tentang syarat dan hak napi di Lapas.
Ada indikasi Yasonna tengah memanfaatkan situasi krisis untuk dapat membebaskan koruptor dari jeruji besi, dengan menjadikan corona sebagai alat untuk mempermuda pekerjaan dan agenda lama yang tertunda.
Jangan jadikan pandemi Covid19 sebagai kendaraan koruptor untuk bebas. Jangan sampai PP Nomor 99 Tahun 2012 menjadi akal-akalan untuk membebaskan para koruptor.
Atas semua alasan itu Kami mendesak Presiden Jokowi dan Menkopolhukam Mahfud MD untuk menolak usulan revisi PP 99/2012, karena Memperlemah regulasi berarti sama saja dengan tidak mendukung pemberantasan korupsi. (*)
Tinggalkan Balasan