OPINI: Era Digital, Disrupsi Ekonomi & Pengangguran
Oleh : Ilham Syam
* Kader Muda NU Luwu Raya
Era disrupsi dapat diartikan sebagai era yang dimana diberbagai lini telah berubah dan bergerak dengan cepat. Tak hanya di sektor transportasi saja, komunikasi, namun perbankan pun juga mengalami disrupsi.
Era disrupsi disisi lain akan menguntungkan namun di sisi lain juga dapat menjadi bom waktu jika perubahan ini tidak mendapat respons yang baik.
Sebenarnya disrupsi tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi. Hukum, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemerintahan adalah beberapa contoh bidang yang juga ikut terdisrupsi. Berbicara disrupsi maka kita akan dihadapkan pada efisiensi, kecepatan, kenyamanan, dan kualitas.
Yang dimana sudah diketahui khalayak banyak bahwa ekonomi disruptif adalah salah satu bentuk revolusi dalam cara kita berpikir dan menggunakan barang atau jasa.
Tak bisa dibantahkan bahwa revolusi digital memang banyak memajukan peradaban manusia kearah efisiensi produktifitas, dimana hari ini, banyak perusahaan yang menggunakan sistem teknologi digital untuk percepatan produksi. sementara, beberapa perusahaan masih mengandalkan tenaga manusia.
Hal ini tentu hanya akan menghasilkan lebih banyak pengganguran, dikarenakan masih banyaknya sumber daya manusia yang tidak memiliki keterampilan dalam penguasaan alat teknologi digital. hal tersebut juga akan berdampak pada ekonomi dan terbatasnya ruang kerja bagi manusia.
Di Indonesia contohnya, efek perkembangan teknologi terhadap penyerapan tenaga kerja telah terjadi. Lihat saja, nilai investasi langsung semakin besar, tapi jumlah penyediaan lapangan kerja malah melemah.
Dilansir Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat setiap investasi Rp 1 triliun hanya mampu menyediakan lapangan kerja sebanyak 1.697 orang pada tahun 2017. Lima tahun sebelumnya, tiap investasi Rp 1 triliun mampu menyerap 4.006 pekerja
Jika potensi disrupsi ekonomi ini tak diantisipasi, jumlah masyarakat di jurang kemiskinan akan bertambah. Selain itu, angka pengangguran bertambah dan pemutusan hubungan kerja bakal makin semarak.
Melihat data diatas, antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah belum berjalan maksimal dan terasa lamban, belum adanya regulasi ataupun kebijakan bagi perusahaan yang telah memanfaatkan teknologi digital dalam pengoperasian perusahaanya.
Disisi lain pula, pemerintah secara massif membuka seluas-luasnya ruang investasi agar menciptakan iklim pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan.
Hal ini tentu patut untuk diperhatikan dan waspadai mengingat Indonesia akan mengalami bonus demografi dimana jumlah penduduk usia produktif mencapai 70 persen.
Angkatan kerja yang begitu banyak jika tidak dimbangi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia akan menjadi beban ekonomi.
Jika era ekonomi dan teknologi disruptif tidak diperhatikan dan disiapkan dengan baik tentu akan berdampak negatif bagi pembangunan Indonesia.
Seharusnya, sebelum membuka kerang investasi seluas-luasnya, pemerintah terlebih dahulu melakukan pendataan pada perusahaan yang memanfaatkan teknologi digital serta pendataan jumlah tenaga kerja yang telah bekerja didalam perusahaan.
Dengan demikian, pemerintah dapat membuat pelatihan skill pada tenaga kerja sebagai antisipasi dampak pemutusan kerja yang terkadang dilakukan sepihak oleh perusahaan, disamping membuat regulasi serta kebijakan.
Selain itu, pemerintah juga harus memanfaatkan balai pelatihan kerja (BLK) untuk melatih keterampilan bagi tenaga kerja.
Kini kita menunggu kepekaan pemerintah dalam menyikapi hal ini sembari terus berupaya melakukan persiapan dalam menghadapi era ekonomi disruptif. (*)
Tinggalkan Balasan