Oknum Jaksa Diduga Aniaya Ketua Hipmi Palopo, Kasus Dilaporkan ke Polres
PALOPO, TEKAPE.co – Kepolisian Resor Palopo tengah menyelidiki laporan dugaan penganiayaan terhadap Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Palopo, Imbara.
Laporan itu menyebut Kepala Seksi (Kasi) Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Palopo, sebagai terduga pelaku.
Kasat Reskrim Polres Palopo, Iptu Syahrir, membenarkan adanya laporan yang masuk.
“Kasus saat ini ditangani oleh Unit Pidana Umum Satreskrim Polres Palopo,” ujar Syahrir, Rabu, 30 Juli 2025.
Bukti visum et repertum milik korban telah disertakan dalam laporan dan menjadi dasar awal penyelidikan.
Kuasa hukum korban, Erma Sirande, menjelaskan bahwa perkara bermula dari surat yang dikirim kliennya kepada Kejari Palopo.
Isi surat tersebut adalah permohonan pembatalan penerapan restorative justice (RJ) dalam perkara perdata yang telah lama bergulir dan melibatkan keluarga korban.
Surat itu menyertakan pertimbangan hukum dari pihak pelapor. Beberapa waktu kemudian, pihak keluarga korban menerima panggilan melalui aplikasi WhatsApp dari kejaksaan untuk datang ke kantor.
Saat itu, pelapor tengah berada di luar kota, namun tetap memenuhi panggilan esok harinya meski tidak melalui prosedur resmi.
“Panggilan tidak melalui surat tertulis. Hanya via telepon,” ujar Erma.
Karena tidak bisa hadir mendampingi akibat kondisi kesehatan, Erma menunjuk keponakan korban, Imbara, untuk menemani Ariswandi saat datang ke Kejari Palopo.
Sebelumnya, pihak kejaksaan disebut sempat meyakinkan bahwa Selmiati, terlapor dalam perkara tanah tidak akan hadir dalam pertemuan.
Namun saat tiba, Ariswandi menemukan Selmiati telah lebih dahulu berada di lokasi.
Ketegangan muncul ketika Imbara sempat ditolak masuk oleh Kasi Pidum.
Ariswandi bersikeras hanya akan mengikuti pertemuan jika keponakannya diizinkan mendampingi.
“Setelah masuk ke dalam ruangan, terjadi ketegangan. Kasi Pidum mengetuk meja dengan keras. Saat itu pula terjadi dugaan penganiayaan terhadap Imbarah,” kata Erma.
Usai kejadian, Imbarah melakukan visum dan melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Palopo.
Dikutip dari Palopopos, Kepala Kejaksaan Negeri Palopo, Ikeu Bachtiar, membantah keras tudingan penganiayaan.
Menurutnya, semua tahapan dalam proses RJ telah dijalankan sesuai prosedur dan didasari oleh kesepakatan kedua belah pihak.
“Tidak benar ada penganiayaan. Semua proses RJ dilakukan sesuai ketentuan hukum,” kata Ikeu.
Ikeu menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari sengketa tanah antara Hj. Maenong dan Saudara Mala pada tahun 2000, dengan luas lahan 3,4 hektare.
Setelah kedua pihak meninggal, perkara dilanjutkan oleh ahli waris masing-masing. Upaya hukum telah dilakukan dan inkrah di tingkat Pengadilan Negeri hingga Pengadilan Tinggi, dengan putusan yang menyatakan AJB 687/2000 sah dan memerintahkan pemecahan sertifikat tanah.
Karena pihak tergugat tak kunjung menyerahkan sertifikat, korban melaporkan kasus ini ke polisi dengan sangkaan Pasal 372 dan 227 KUHP.
Berkas dinyatakan lengkap (P-21), dan jaksa memfasilitasi RJ karena memenuhi syarat, ancaman pidana di bawah lima tahun, bukan residivis, dan adanya perdamaian.
“Kesepakatan RJ sudah ditandatangani kedua belah pihak. Jaksa hanya fasilitator,” ujar Ikeu.
Namun, setelah RJ berjalan, muncul penolakan dari pihak Ariswandi.
Kajari menyebut surat penolakan itu masuk bersamaan dengan isu bahwa ada pihak yang menghendaki penambahan luas lahan dalam AJB menjadi 4,4 hektare, klaim yang ditolak BPN karena tak ada dasar hukum.
Atas dasar penolakan tersebut, Kejari Palopo mengkaji ulang kasus dan mengundang kedua pihak untuk musyawarah lanjutan pada 23 Juli 2025.
Pertemuan inilah yang kemudian menjadi latar laporan dugaan penganiayaan oleh pihak pelapor.
Namun Ikeu menegaskan bahwa laporan tersebut tidak berdasar.
“Kami memiliki bukti rekaman CCTV dan dokumen. Apa yang dilaporkan tidak mencerminkan kejadian sebenarnya. Tidak ada pemukulan atau penganiayaan,” ujarnya.
Kajari menyatakan bahwa laporan balik sedang dipertimbangkan atas dugaan penyampaian informasi palsu yang bisa berkonsekuensi pidana.
Sementara itu, karena tidak tercapai kesepakatan lanjutan, Kejari Palopo memutuskan membatalkan proses RJ dan melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri Palopo pada Rabu, 30 Juli 2025.
“Restorative justice bukan harga mati. Jika tidak ada kesepakatan, maka perkara tetap dilanjutkan secara pidana,” ujar Ikeu.(*)
Tinggalkan Balasan