Ketika Pengabdian Tak Lagi Sekedar Pekerjaan, Tetapi Jalan Hidup
Perjalanan Panjang Menemukan Makna Melayani dalam Setiap Perubahan Peran
Penulis: Harianto (Anggota KPU Kabupaten Luwu Divisi Perencanaan, Data dan Informasi)
OPINI, TEKAPE.co – Ada satu titik dalam perjalanan hidup ketika bekerja tak lagi diukur oleh jam, jabatan, atau imbalan, melainkan oleh sejauh apa hati bersedia tetap setia pada amanat yang dipercayakan. Menjelang dua tahun saya menjalani peran sebagai penyelenggara pemilu, kesadaran itu kian terasa nyata. Peran ini bukan sesuatu yang sejak awal saya rencanakan, tetapi perlahan menjelma menjadi ruang belajar yang mendewasakan tentang tanggung jawab, tentang kepercayaan, dan tentang makna melayani yang sesungguhnya.
Dunia kepemiluan bergerak cepat, penuh dinamika dan tekanan, namun di sanalah saya belajar bahwa bekerja untuk demokrasi bukan sekadar soal tahapan dan jadwal, melainkan tentang menjaga harapan publik agar tetap utuh dan terpelihara.
Menjadi penyelenggara pemilu bukan sekadar menjalankan tahapan atau memastikan setiap jadwal terlaksana tepat waktu. Lebih dari itu, ini adalah ruang pengabdian yang menuntut kesabaran, ketelitian, dan integritas. Di balik rapat-rapat panjang, koordinasi antarlembaga, dan pembaruan data yang tidak henti, terdapat tugas mulia memastikan hak setiap warga, khususnya masyarakat Kabupaten Luwu, untuk memilih dan dipilih benar-benar terlindungi.
Setiap kali memasuki tahapan baru, saya semakin menyadari bahwa tugas penyelenggara bukanlah urusan teknis semata. Ini adalah soal menjaga kepercayaan, menegakkan integritas, dan memastikan bahwa setiap warga negara memperoleh hak yang sama untuk bersuara. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat bahwa proses panjang dan melelahkan tersebut bermuara pada satu tujuan mulia, menjaga suara rakyat agar tetap jujur dan adil.
Sebelum tiba di titik ini, saya menempuh perjalanan panjang di dunia birokrasi. Selama dua dekade, saya bekerja sebagai ASN di Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sejak awal tahun 2004, mengemban berbagai tugas dan tanggung jawab di unit kerja yang berbeda. Masa itu bukan sekadar hitungan tahun, melainkan lembaran penuh warna tentang proses belajar, bertumbuh, dan memahami makna pengabdian dari berbagai sisi.
Saya pernah dipercaya menjalankan peran yang terbilang penting, mengelola proses pengadaan barang dan jasa sebagai panitia tender, serta bertugas sebagai bendahara pengeluaran yang memastikan setiap rupiah negara digunakan dengan tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dari pengalaman itu saya belajar bahwa bekerja di pemerintahan bukan hanya soal administrasi, tetapi juga soal integritas dan tanggung jawab moral.
Di dunia pengadaan, saya belajar tentang ketegasan dan disiplin terhadap aturan. Setiap keputusan harus diambil dengan kehati-hatian karena sedikit kelalaian dapat menimbulkan persoalan besar. Sementara itu, menjadi bendahara pengeluaran mengajarkan arti tanggung jawab yang sesungguhnya. Pada posisi tersebut, kepercayaan adalah segalanya. Uang negara bukan sekadar angka dalam laporan, melainkan amanat publik yang wajib dijaga.
Dari pengalaman-pengalaman itu saya memahami bahwa birokrasi bukan hanya kumpulan aturan, tetapi juga ruang penerapan nilai-nilai moral. Melayani negara dan masyarakat menuntut kejujuran dan komitmen. Setiap tanda tangan, laporan, dan keputusan memiliki makna apabila dijalankan dengan ketulusan hati.
Perjalanan kemudian membawa saya ke pemerintahan kelurahan, tempat saya bersentuhan langsung dengan masyarakat. Selama kurang lebih tiga belas tahun (Februari 2011 hingga Desember 2023), saya menangani berbagai kebutuhan warga, administrasi kependudukan, pembuatan KTP, Kartu Keluarga, hingga surat-surat keterangan untuk kebutuhan harian mereka.
Bekerja di kelurahan memberi banyak pelajaran berharga. Saya belajar bahwa pelayanan publik bukan hanya tentang kecepatan atau kelengkapan dokumen, tetapi juga tentang empati dan kesabaran. Warga yang datang tidak selalu membawa pemahaman yang sama, tetapi semuanya hadir dengan harapan serupa ingin dihargai dan dilayani dengan baik.
Saya masih mengingat wajah-wajah warga yang datang dengan rasa cemas atau kebingungan, bahkan marah karena belum memahami prosedur. Namun di situlah seni melayani bekerja, mendengarkan, menjelaskan, dan membantu tanpa kehilangan kesabaran. Ada kepuasan mendalam ketika melihat mereka pergi dengan senyum lega. Momen sederhana itu menjadi pengingat kuat bahwa pelayanan publik adalah soal kesediaan mendengar dan menolong dengan hati.
Pengalaman-pengalaman itu dari meja pengadaan, ruang bendahara, hingga loket pelayanan membentuk cara pandang saya terhadap pengabdian. Setiap peran memberikan pelajaran berbeda, tetapi semuanya mengarah pada nilai dasar yang sama: kejujuran, tanggung jawab, dan ketulusan dalam bekerja.
Nilai itulah yang saya bawa ketika memasuki babak baru sebagai penyelenggara pemilu. Transisi ini bukan keputusan ringan. Untuk menjalankannya, saya menyandang status diberhentikan sementara sebagai ASN Pemerintah Kabupaten Luwu Utara hingga berakhirnya masa jabatan sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Luwu. Keputusan tersebut saya ambil dengan pertimbangan matang. Birokrasi telah mengisi dua puluh tahun hidup saya dan meninggalkannya sementara tentu tidak mudah.
Namun saya percaya bahwa pengabdian memiliki banyak wajah. Kali ini saya hanya berganti peran dari pelayan masyarakat dalam sistem pemerintahan menjadi pelayan rakyat dalam proses demokrasi. Wujudnya mungkin berubah, namun semangatnya tetap sama: bekerja dengan jujur, menjaga amanat, dan memberikan yang terbaik bagi negeri.
Menjadi penyelenggara pemilu membuka mata saya pada dimensi lain pelayanan publik. Di sini saya belajar bahwa melayani bukan sekadar administrasi, tetapi menjaga suara rakyat. Kejujuran dan profesionalitas bukan slogan, melainkan fondasi utama legitimasi pemilu dan kepercayaan publik.
Dua tahun terakhir memberikan banyak pelajaran. Saya belajar bahwa bekerja di dunia kepemiluan menuntut kemampuan teknis sekaligus keteguhan moral. Demokrasi tidak tegak dengan sendirinya; ia harus dijaga, dirawat, dan diperjuangkan setiap hari. Menyelenggarakan pemilu bukan perkara mudah. Ada tekanan, kritik, bahkan godaan untuk menyerah pada padatnya tugas. Tetapi di balik kesulitan itu, ada kebanggaan besar, menjadi bagian dari proses menentukan masa depan bangsa dan daerah.
Ketika saya merenung, perjalanan hidup ini terasa seperti rangkaian gerbong pengabdian yang saling terhubung. Dari birokrasi yang penuh tata kelola hingga kepemiluan yang sarat tantangan moral, keduanya menuntut integritas, keikhlasan, dan komitmen yang sama.
Sering kali saya tersenyum sendiri mengingat langkah-langkah yang telah dilalui menyiapkan dokumen, mengevaluasi penawaran, menetapkan pemenang tender, mencatat laporan keuangan, melayani warga kelurahan, hingga kini mengawal daftar pemilih dan tahapan demokrasi. Semua pengalaman itu ibarat potongan mosaik yang membentuk satu gambar utuh tentang pengabdian.
Kini, ketika saya menatap perjalanan dua tahun terakhir sebagai penyelenggara pemilu teknis di KPU Luwu, saya merasa bersyukur. Tidak banyak orang mendapat kesempatan melayani dari dua sisi: pemerintahan dan demokrasi. Dari keduanya saya belajar bahwa pengabdian tidak harus besar atau mencolok. Kadang ia hadir dalam bentuk sederhana—dalam sikap jujur, kerja tulus, dan tanggung jawab di setiap amanat kecil yang diberikan.
Wajah pengabdian saya mungkin berganti, tetapi niatnya tak pernah berubah. Pada titik ini, bekerja tak lagi saya pahami sebagai sekadar pekerjaan, melainkan sebagai jalan hidup sebuah pilihan sunyi untuk tetap setia pada amanat, apa pun peran yang dijalani. Di birokrasi pemerintahan maupun di ruang demokrasi, esensinya tetap sama: melayani dengan jujur, bekerja dengan tulus, dan menjaga kepercayaan yang dititipkan. Selama hati tetap berpihak pada pelayanan, setiap langkah, sekecil apa pun, adalah bagian dari pengabdian itu sendiri. (*)



Tinggalkan Balasan