Diduga Maladministrasi, JMKMI Persoalkan Pelaksana Ukom Kesmas
PALOPO, TEKAPE.co – Presiden Jaringan Muda Kesehatan Masyarakat Indonesia (JMKMI), Muhammad Suharsono SKM, akan mempersoalkan penyelenggaraan ujian kompetensi (Ukom) sarjana kesehatan masyarakat (Kesmas).
Pasalnya, Ombudsman RI menyebut uji kompetensi itu dilakukan tanpa payung hukum, dan digelar oleh lembaga yang tidak berwenang, yaitu IAKMI dan AIPTKMI.
Untuk itu, JMKMI, dalam rilisnya, Kamis 24 Oktober 2019, mengaku akan melakukan audience dengan kementerian kesehatan, dan juga akan melaporkan IAKMI dan AIPTKMI ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan maladministrasi.
Ia menjelaskan, maladministrasi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU 37/2008) diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Suharsono mengatakan, sesuai penjelasan Komisioner Ombudsman, Ahmad Suaedy, penyelenggaraan ujian kompetensi kesehatan masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi bersama organisasi profesi, yang mendapatkan pengesahan dari Kementerian Kesehatan.
Ternyata, IAKMI dan AIPTKMI, bukan organisasi profesi yang mendapatkan pengesahan dari Menteri Kesehatan.
Adapun Surat Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan uji kompetensi, sebagaimana surat nomor 311/B/TU/2018 tentang Tanggapan terhadap Pelaksanaan Uji Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (UKSKMI)’ tertanggal 10 April 2018.
Dirjen Belmawa menegaskan bahwa UKSKMI yang saat ini dijalankan oleh AIPTKMI dan IAKMI, tidak dapat menggunakan dasar hukum UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Permenristekdikti No 12/2016 tentang Tata Cara Uji Kompetensi Mahasiswa bidang Kesehatan yang mengatur bahwa uji kompetensi secara nasional dilakukan oleh mahasiswa pada akhir pendidikan vokasi dan profesi (bukan kepada mahasiswa pada akhir pendidikan akademik).
Sementara itu, sebagaimana Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 15 ayat 1, bahwa SKM adalah gelar pendidikan akademik sama seperti S.Kep. S.Ked, dan S.Farm.
Penjelasan detail terkait perbedaan pendidikan akademik, vokasi dan profesi, bisa dilihat di UU 12/2012 pasal 15 ayat 1 penjelasan tentang pendidikan akademik, pasal 16 ayat 1 tentang pendidikan vokasi dan pasal 17 ayat 1 tentang pendidikan profesi.
“Kegiatan Uji kompetensi itu sudah berlangsung sejak 2016 lalu, dan adanya pembiaran dari Kemenkes terhadap uji kompetensi tersebut,” tandas Suharsono.
Bentuk maladministrasi yang kedua adalah menteri kesehatan telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan membiarkan IAKMI dan AIPTKMI menyelenggarakan ujian kompetensi kesehatan masyarakat dan adanya biaya dibebankan kepada peserta ujian sebesar Rp 500 ribu.
Di samping itu besaran biaya yang dikenakan kepada peserta ujian tidak berdasarkan pertimbangan dari Kementerian Keuangan RI.
Pungutan tidak resmi, pungutan yang dipaksakan dengan memanfaatkan momentum dan menyalahgunakan jabatan yang tidak ada dasar hukumnya adalah tindak pidana korupsi.
Visi Misi Presiden RI Joko Widodo salah satunya memberantas kasus korupsi. Hukum harus ditegakkan di Indonesia.
Maka dari itu, KPK harus turun tangan untuk menyelesaikan hal tersebut. Sangat banyak pihak yang dirugikan dalam hal ini dan harus ada ganti rugi kepada peserta yang telah mengikutinya.
Hal ini juga merupakan salah satu wewenang ombudsman yaitu membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan.
Suharsono menegaskan, IAKMI dan AIPTKMI juga harus dibubarkan atas pelanggarannya tersebut.
Juga Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) yang memberlakukan syarat pemberkasan STR (sertifikat kompetensi, sumpah/janji profesi bagi SKM & surat pernyataan patuh pada etika profesi) bagi para Sarjana Kesehatan Masyarakat yang tidak ada dasar hukumnya harus bertanggung jawab akan hal ini.
“Jika tidak ada sanksi yang tegas dalam penanganan kasus seperti ini, maka tidak mungkin hal seperti ini akan terjadi lagi kedepannya,” tandas Suharsono, yang juga aktivis HMI ini. (*)
Tinggalkan Balasan