Aktivis Desak Polda dan Kejati Ambil Alih, Penanganan Korupsi Palopo Jalan di Tempat
MAKASSAR, TEKAPE.co – Penanganan dua dugaan kasus korupsi di Kota Palopo, proyek penanganan banjir tahun anggaran 2024 senilai Rp30 miliar serta pembangunan Gedung DPRD Palopo tahap I dan II, dinilai mandek dan tanpa perkembangan berarti.
Ketiadaan progres ini menimbulkan beragam persepsi negatif di ruang publik dan masih menjadi perbincangan warga Palopo.
Ketua Umum Sultan Hasanuddin Corruption Watch (SHCW), Ewaldo Aziz, SH, menilai penegakan hukum oleh Polres Palopo dan Kejaksaan Negeri Palopo tidak menunjukkan kejelasan arah.
“Dugaan korupsi penanganan banjir TA 2024 yang ditangani unit Tipikor Satreskrim Polres Palopo dan proyek Gedung DPRD tahap I dan II di Kejaksaan Negeri Palopo berjalan di tempat,” kata Aldo, sapaan akrabnya, Senin (24/11/2025).
Penanganan Kasus Penanganan Banjir Dinilai Tidak Signifikan
Menurut Aldo, Polres Palopo telah memeriksa PPK dan sejumlah pihak terkait proyek talud serta normalisasi sungai, namun belum terlihat perkembangan berarti. Ia menyebut terdapat beberapa pembangunan yang tidak memenuhi standar teknis.
“Kualitas pekerjaan dinilai tidak layak untuk mengatasi aliran sungai deras. Ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa hingga saat ini Palopo masih kerap dilanda banjir, yang menurutnya menunjukkan ketidakefektifan proyek tersebut.
Dugaan Penyimpangan Pembangunan Gedung DPRD
Pada kasus kedua, proyek pembangunan Gedung DPRD Palopo tahap I tahun 2021 dengan nilai Rp10,97 miliar yang dikerjakan CV Tirani Teknik Pratama serta tahap II tahun 2022 oleh PT Delima Utama dengan penawaran Rp21,72 miliar, dinilai tidak sesuai kualitas yang seharusnya.
“Beberapa item konstruksi, seperti tembok gedung yang diduga menggunakan beton, ternyata hanya terbuat dari panel GRC. Material seperti ini kurang kokoh untuk bangunan sekelas gedung parlemen,” kata Aldo.
Ia menyebut pihak Kejaksaan Negeri Palopo sudah melakukan uji konstruksi dan memeriksa rekanan serta PPK, namun hasilnya belum dipublikasikan.
“Prosesnya tidak transparan dan seperti berhenti di tempat. Hasil uji konstruksi pun belum diumumkan ke publik,” ucapnya.
Palopo Masuk Zona Merah Korupsi
Aldo menilai lambannya penanganan kedua kasus tersebut mencerminkan lemahnya komitmen penegak hukum di daerah.
“Upaya penindakan tidak efektif, koordinasi antar lembaga buruk, dan komitmen reformasi birokrasi lemah,” katanya.
Ia merujuk hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 KPK yang menempatkan Palopo dalam zona merah korupsi.
Rencana Aksi dan Tuntutan SHCW
Sebagai tindak lanjut, SHCW akan melakukan konsolidasi dan menggelar aksi unjuk rasa di Polda Sulsel dan Kejaksaan Tinggi Sulsel.
“Kami akan menyampaikan tuntutan dan aspirasi teman-teman,” kata Aldo.
SHCW mengajukan tiga tuntutan utama:
1. Mendesak Kapolda Sulsel dan Kepala Kejati Sulsel untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi atas penanganan perkara dugaan korupsi di Palopo.
2. Mendesak Ditkrimsus Polda Sulsel mengambil alih kasus dugaan korupsi anggaran penanganan banjir TA 2024 serta memeriksa PPK dan kontraktor pelaksana.
3. Mendesak Aspidus Kejati Sulsel mengambil alih kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung DPRD Palopo dan memeriksa pihak rekanan serta PPK.
“Ini bentuk komitmen SHCW dalam mengawal setiap penanganan dugaan korupsi di Sulawesi Selatan,” tegas Aldo. (Rid)



Tinggalkan Balasan