Aktivis Antikorupsi Soroti Dugaan Korupsi Rp1,6 Miliar di PT LTG: Harus Diusut Tuntas
LUWU TIMUR, TEKAPE.co — Dugaan penyimpangan dana senilai Rp1,65 miliar dalam penyertaan modal Perusahaan pada Perseroda Luwu Timur Gemilang (PT LTG) kini menuai sorotan tajam dari kalangan aktivis antikorupsi.
Ketua Umum Sultan Hasanuddin Corruption Watch (SHCW), Ewaldo Aziz SH, mendesak aparat penegak hukum untuk segera turun tangan menelusuri aliran dana tersebut.
Menurutnya, indikasi korupsi dalam penyertaan modal yang dilakukan pada periode kepemimpinan Iwan Usman di PT LTG tidak bisa dianggap sepele.
“Kalau benar ada selisih dana Rp1,65 miliar yang tidak jelas penggunaannya, maka itu jelas dugaan tindak pidana korupsi. Tidak boleh ada yang kebal hukum, siapapun yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban,” tegas Ewaldo, Jumat (24/10/2025).
BACA JUGA:
Jois Andi Baso Soroti Carut-Marut Tambang Pongkeru: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Informasi menyebutkan, dugaan itu muncul setelah diketahui bahwa PT LTG melakukan pinjaman sebesar Rp10 miliar kepada PT Aneka Mineral Nasional untuk membayar setoran modal ke PT Pongkeru Mineral Utama (POMU), perusahaan joint venture antara PT Antam (55%), PT LTG (27%), dan PT Sulawesi Citra Indonesia (18%).
Namun, setoran yang dilakukan ke PT POMU hanya sebesar Rp8,35 miliar, menyisakan selisih Rp1,65 miliar yang hingga kini belum terjelaskan secara transparan.
“Tidak menutup kemungkinan, dana selisih itu bisa digunakan untuk kepentingan pribadi atau politik tertentu. Kalau benar begitu, berarti ada kerugian daerah yang nyata,” lanjut Ewaldo.
Aktivis ini menilai, langkah Inspektorat Kabupaten Luwu Timur yang saat ini melakukan investigasi internal merupakan awal yang baik, tetapi belum cukup. Ia mendesak agar kasus tersebut dilanjutkan ke aparat penegak hukum, baik kejaksaan maupun kepolisian.
“Inspektorat boleh memeriksa secara administratif, tapi soal dugaan korupsi itu ranah hukum pidana. Jadi harus segera diserahkan ke aparat penegak hukum agar tidak berhenti di meja birokrasi,” tegasnya.
Ewaldo juga menyoroti lemahnya tata kelola keuangan BUMD selama ini yang sering dijadikan alat politik dan sumber rente oleh pihak tertentu.
“BUMD seharusnya jadi mesin ekonomi daerah, bukan tempat menampung kepentingan politik atau membagi jabatan bagi kroni. Kalau kasus seperti ini dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akan runtuh,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan, SHCW akan terus memantau perkembangan kasus tersebut dan siap menyerahkan laporan resmi ke KPK jika ditemukan unsur korupsi yang kuat.
“Kami tidak akan diam. Uang Rp1,6 miliar itu bukan angka kecil, dan itu uang rakyat. Kami akan kawal sampai tuntas,” tegas Ewaldo. (*)



Tinggalkan Balasan