OPINI: Krisis Komunikasi Kebijakan Tanggap Darurat Bencana Covid-19
Oleh: Muh Ari Fahmi Abidin
(Mahasaiswa FISIP Unismuh Makassar)
MENYIKAPI Pandemi Covid-19 ini, membuat Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan dalam menghadapi wabah penyakit ini, namun kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah mengalami tumpang-tindih, karena adanya krisis komunikasi, sehingga timbul Ketidakpastian Komunikasi Kebijakan Tanggap Darurat Bencana Covid-19.
Yang menjadi masalah komunikasi kita dikarenakan jatuhnya trust atau kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah.
Berdasarkan hasil Penelitian Drone Empirit, yang melakukan riset terhadap perbincangan di media sosial menemukan bahwa masalah utama yang dihadapi Pemerintah adalah soal trust publik kepada mereka, bukan soal fear atau kepanikan menghadapi data yang transparan.
“Jika selama ini data tidak dibuka karena takut publik jadi panik (FEAR), temuan Drone Empirit ini memperlihatkan sebaliknya. Bahwa dengan dibukanya data, akan menaikkan TRUST, dan ditutupnya data, atau tidak transparan, akan menimbulkan DISTRUST dan menyebabkan FEAR.”
Salah satu model yang dapat digunakan untuk melakukan komunikasi yang efektif di masa bencana adalah Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) yang di gagas oleh Barbara Reynolds dan Matthew W Seeger (2005), yang terdiri dari 5 tahapan:
- Sebelum krisis (Pre-crisis),
- Awal krisis (initial event),
- Selama krisis (maintenance),
- Resolusi (resolution),
- Evaluasi (evaluation).
Lalu bagaimana langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Indonesia? puasa pra krisis di Indonesia, Pemerintah terkesan lamban dalam merespon adanya pandemi ini.
Padahal komunikasi, dalam hal ini, sangat penting untuk memberikan pengetahuan awal kepada publik, agar mereka memahami dan mempersiapkan diri saat wabah telah masuk ke Indonesia.
Dengan adanya krisis komunikasi di internal pemerintah, membuat masyarakat menjadi bingung, karena banyaknya statement dari Pemerintah yang berbeda-beda dan regulasi yang tumpang-tindih.
Yang menjadi penyebab adanya krisis komunikasi yaitu:
- Tidak adanya kepemimpinan,
- Terlalu banyak aktor yang ikut berbicara/tidak satu pintu,
- Buruk atau bahkan tidak ada koordinasi,
- Kegagalan membuat skala prioritas.
Mengenai hal bagaimana komunikasi perumusan kebijakan yang ditempuh Pemerintah, memunculkan sebuah isu, yang dimana pada era teknologi komunikasi yang sangat maju, justru pemerintah semakin tidak mampu berkomunikasi dengan efektif, mengapa demikian, karena Pemerintah lebih bersandar (realy on) teknologi komunikasi daripada teori komunikasinya sendiri.
Padahal teori komunikasi yang efektif sangat mempengaruhi sebuah kebijakan dan informasi sehingga menghilangkan ketidakpastian akan adanya masalah komunikasi terhadap sebuah informasi dan kebijakan.
Komunikasi kebijakan krisis Pandemi Global Covid-19
Menyampaikan pesan berupa informasi kebijakan krisis pandemi global Covid-19 untuk mereduksi, sehingga menghilangkan ketidakpastian dan adanya masalah kebijakan krisis pandemi global Covid-19.
Pada masa sekarang ini komunikasi yang dilakukan Pemerintah mengalami banyak masalah dan kurang kompoten dalam komunikasi, padahal komunikator haruslah kompoten di bidangnya sehingga apa yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh komunikan/penerima pesan agar makna pesan dan tujuan itu sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh komunikator sehingga ada kesamaan makna antara komunikator yang ada agar tidak menimbulkan kegaduhan komunikasi yang menyebabkan publik menjadi bingung.
Berbagai Komunikasi Kebijakan Tanggap Darurat yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia mengenai Covid-19:
- Pada tanggal 23 Maret 2020, Pemerintah menerapkan Physical Distancing, untuk mengurangi penyebaran Covid-19,
- Pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 dan ketiga Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, fungsi kebijakan pemerintah terkait penerapan PSBB, yaitu mencegah terjadinya perkumpulan orang, baik dalam jumlah kecil hingga jumlah besar, dan menekan penyebaran virus Covid-19 di kalangan Masyarakat.
- Membuka kembali izin oprasional Mode Transportasi secara terbatas, untuk memudahkan orang-orang yang bekerja dalam lembaga Pemerintah/Swasta yang menyelenggarakan kegiatan percepatan pelayanan Covid-19, ekonomi pasar, atau pelayanan kesahatan, repratiasi WNI, Pelajar/Mahasiswa dan pekerja Migran Indonesia yang berada di luar negeri, perjalanan pasien yang membutuhkan kesehatan darurat/keluarga inti sakit/meninggal.
- Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo menyatakan bahwa kelompok usia 45 tahun ke bawah untuk bekerja kembali, ini harus dilihat konteksnya pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9/2020 yaitu Pasal 11. Jadi ada 11 bidang kegiatan yang bisa diizinkan PSBB, yaitu kantor atau intansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas pelayanan, kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik dan kebutuhan dasar lainnya. Fungsi kebijakan ini untuk memberi kesempatan bagi warga Indonesia di bawah 45 tahun untuk beraktivitas kembali guna menekan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tengah Pandemi Covid-19 dengan memperhatikan 11 bidang yang telah diizinkan.
Namun adanya beberapa kebijakan ini masih diterima secara berbeda oleh Masyarakat walaupun Pemerintah ingin mengurangi dampak dari Pandemi, tetapi justru menimbulkan bencana komunikasi, yang seharusnya mengurangi resiko, tetapi justru menimbulkan bencana komunikasi yang menambah resiko.
Lalu bagaimana masyarakat mengetahui informasi terkait kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah?
Berdasarkan hasil riset dari PSSAT Komunikasi Resiko Perspektif Multilayers Actor 2020, tentang pemahaman masyarakat tentang kebijakan pemerintah mayoritas melalui Pemberitaan Online dan Media Sosial.
Hasilnya, 92 persen masyarakat memahami kebijakan pemerintah dari Situs Pemberitaan Online. 6% tidak, dan 2% tidak tahu/ tidak menjawab.
Kemudian lewat Media Sosial juga 84% dan 13% tidak tahu/ tidak menjawab.
Jika mengacu pada data tersebut, maka masyarakat cenderung menggunakan Situs Pemberitaan Online atau Media Sosial dalam mendapatkan informasi. Namun yang perlu dipertanyakan validitas dan kualitas informasi tersebut.
Jadi masyarakat perlu memilah informasi-informasi yang ada pada Situs Pemberitaan Online maupun Media Sosial agar tidak menimbulkan gagal paham, karena begitu banyaknya perspektif informasi yang berbeda-beda yang perlu kita telaah terlebih dahulu validitas informasi tersebut. (*)
Tinggalkan Balasan