OPINI: Menelisik Janji Pemerintah di Balik Bisik-bisik Rakyat yang Bising
Oleh : Muh Nur Fikran
(Departemen Bidang Hikmah Pikom IMM Fisip Unismuh Makassar)
“Setiap mata yang tertutup tidaklah tidur, dan setiap mata yang terbuka tidaklah melihat.” (Bill Cosby)
Mengawali tulisan kali ini, saya sengaja mengutip kalimat perkataan dari Bill Cosby diatas yang maknanya begitu dalam dan juga sifatnya yang sentimentil.
Akhir-akhir ini berbagai kredo berbau sentimen dan protes datang dari kaum yang saya sebut dengan istilah stoik istana (baca: luar istana), yang mulai terdengar sangat bising sehingga saking bisingnya pak presiden yang tinggal di istana terusik kedamaiannya dan langsung membalas kebisingan tersebut dengan perkataan “kalau ada pelanggaran… yang kalian lihat ya lapor ke polisi…, jangan marah-marah di media sosial”.
Melihat respon pak presiden terhadap kebisingan dari luar istana tersebut, saya cuma mau bilang sebetulnya siapa yang marah-marah disini pak, rakyat kah atau pemerintah dan yang sebenarnya pantas untuk marah itu pemerintah atau kah rakyatnya ya…?
Yaa, mungkin sedikit naif dengan kalimat pertanyaan yang saya ajukan tapi sudahlah bukan itu yang mau saya bahas dalam essay kali ini. Saya ingin membawa siapa saja yang membaca tulisan ini masuk ke dalam pembahasan tentang sebuah wacana sekaligus realitas yang terjadi di sekitaran kita di tengah masa pandemi Covid-19.
Hari-hari ini baik itu headline news di tv nasional maupun berita di media online dan juga berita-berita di media sosial saya merasa seakan-akan kita disuguhkan dengan fenomena yang seolah-olah tidak memiliki akhir ini.
Fenomena tersebut kontras membahas tentang kebijakan pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi dan kesenjangan sosial masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang kemudian memunculkan banyak wacana (opini publik) tentang headline tersebut salah satunya bernada pernyataan, sekaligus singgungan masyarakat kepada pemerintah yaitu soal kebijakan pemerintah antara janji yang ditepati ataukah ‘Cumajanji’ belaka? Kira-kira begitu isi kalimat singgungannya.
Singgungan tersebut belakangan ini menjadi sangat sensitif untuk dibahas karena akhirnya akan bermuara pada pertanyaan moral masyarakat kepada pemerintah yang berawal dari bisik-bisik rakyat kemudian akhirnya menjadi sangat bising (hiruk-pikuk) jadinya.
Kita tidak bisa menafikan bahwa hal tersebut benar-benar menjadi sebuah realita yang membuat rakyat terluntang-lantung nasibnya akibat dari situasi dan kondisi yang berada dalam serba ketidakpastian.
Sebagai negara yang memiliki falsafah negara yang sarat akan nilai dan makna yaitu Pancasila, maka menjadi sebuah pernyataan filosofis dan etis sebagai bentuk keprihatinan terkait sikon negara saat ini, yaitu apakah masih pantas pemerintah disebut sebagai pengejawantahan dari negara dan masyarakat itu sendiri, jika dalam sikon yang serba susah, dan darurat seperti ini pemerintah malah mengambil keputusan dan tindakan yang membuat rakyatnya broken heart (baca: patah semangat), dengan janji-janji yang tak kunjung terealisasi secara massif dalam proses menangani pandemi Covid-19 saat ini?
Jawaban yang mungkin akan kita dapatkan dari pernyataan diatas ialah tidak melebihi dari kata ‘tidak menghangat mendingin’ (baca: tidak menyebabkan gembira atau susah).
Saya mencoba semaksimal mungkin untuk menyelisik (baca: menyingkap) apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia atau disekitaran kehidupan kita saat ini, karena rasa-rasanya ada semacam bau menyengat yang awalnya mungkin coba di tutup-tutupi oleh seseorang atau sekelompok orang di seantero negeri ini namun pada akhirnya tercium juga kebusukan nya dikarenakan orang-orang tersebut melakukan kecerobohan yang menyebabkan bau menyengat tersebut tercium oleh semua orang.
Dari hasil penyelisikan saya, nyata-nyatanya memang betul ada yang tidak beres dari implementasi dan realisasi kepemimpinan negara yang secara konstitusi (baca: konsep) dan falsafah (baca: tujuan hidup) negara sudah sangat paripurna dan sempurna susunan serta nilainya.
Telisikan saya menemukan banyak ketidakberesan, mulai dari regulasi penanganan Covid-19 yang tumpang tindih antara Perpu No. 1/2020, Keppres No. 7/2020, PP No. 21/2020, Keppres No. 11/2020, Keppres No. 12/2020, sampai pada Inpres No. 4/2020. Yang secara substansi dan urgensi tidak memenuhi relevansi untuk membuktikan bahwa kesemua regulasi tersebut perlu di putuskan namun kenyataannya tetap saja di legislasi.
Belum lagi soal data penerima bansos yang pendataannya terbukti tidak akurat ditambah dengan masalah koordinasi dana bansos dari kementerian ke pemerintah daerah yang simpang siur sehingga alokasi anggaran bansos (BLT) ke masyarakat terdampak pandemi Covid-19, dari segi ekonomi dan sosialnya tidak terealisasi secara efektif dan massif bahkan cenderung salah sasaran.
Temuan lainnya, yaitu muncul isu yang membahas tentang rencana pemerintah untuk mendatangkan 500 TKA asal Tiongkok ke Sulawesi Utara yang akan ditempatkan di PT Virtue Dragon Nickel Industry dan PT Obsidian Stainless Steel. Alasan dari rencana pemerintah tersebut ialah, sebagai upaya pemerintah untuk menghindari PHK pekerja lokal dengan dalih bahwa ingin melihat kemajuan daerah dan Indonesia.
Isu tersebut sangatlah ambiguitas serta kontroversial dan cukup membuat geram warga lokal baik itu pemerintah daerah maupun rakyat, karena dinilai ada kesan bahwa pemerintah sangat inferior jika berhadapan dengan investor asal China.
Selain itu, pemerintah daerah dan segenap masyarakat menolak dan memprotes rencana pemerintah tersebut, karena dinilai sangat tidak tepat dengan urgensi negara dan masyarakat saat ini apalagi menyinggung tentang kasus PHK massal terhadap pekerja lokal yang terus bertambah beriringan dengan bertambahnya kasus positif Covid-19.
Di tambah lagi dengan isu-isu lain yang tidak kalah kontroversialnya seperti misteri kenaikan tarif listrik, isu harga BBM yang akan dinaikkan padahal minyak bumi mengalami penurunan harga yang sangat buruk, dan juga isu yang paling panas yaitu soal dikebutnya pembahasan RUU Omnibus Law oleh DPR di tengah pandemi, yang sebelum-sebelumnya, telah sangat sering di protes oleh aliansi dan koalisi masyarakat sipil.
Bahkan, hingga saat ini frekuensi protes belum juga mereda sampai masyarakat yakin RUU Omnibus Law ini dibatalkan seutuhnya, karena sudah jelas maksud RUU Omnibus Law ini ingin disahkan oleh DPR semata-mata untuk memenuhi kepentingan dari pihak ketiga yaitu investor dan mengenyampingkan hak serta kepentingan rakyat.
Dan masih banyak lagi ketidakberesan dari implementasi dan realisasi kepemimpinan negara yang dilaksanakan pemerintah kita saat ini.
Apa yang saya narasikan dari telisikan di atas hanyalah beberapa ketidakberesan kepemimpinan negara dari pemerintah yang terpublikasi di media dan sampai kepada khalayak umum, yang sebetulnya masih banyak ketidakberesan yang tidak terpublikasikan sehingga apa yang saya sebut dengan bau menyengat yang coba disembunyikan kini tercium juga kebusukannya.
Implikasinya kemudian, adalah seperti yang dikatakan Wiji Thukul dalam puisinya yang berjudul “Peringatan”, dimana rakyat mulai pergi (baca: mengabaikan) pidato pemerintah, lalu rakyat mulai berbisik-bisik membicarakan masalahnya sendiri, dan berani mengeluh dan seterusnya.
Maka pemerintah harus waspada karena saat ini rakyat sudah mulai melakukan semua yang dikatakan oleh Wiji Thukul secara massif kecuali pada bait terakhir yang mungkin sebentar lagi akan terjadi juga karena bisikan dari rakyat mulai mengusik kedamaian istana yang penuh ilusi tersebut.
Sebentar lagi perlawanan rakyat dalam jumlah yang besar seperti pada saat reformasi tahun 1998 digulirkan mungkin akan terjadi lagi jikalau pemerintah tidak secepatnya menyelesaikan ketidakberesan mereka dalam memimpin negara Indonesia ini.
Dalam situasi dan kondisi yang hiruk-pikuk saat ini, saya ijin kepada pemerintah untuk memberikan sebuah usul sebagai bahan evaluasi dalam merestorasi dinamika kepemimpinan negara kita di masa kini dan di masa yang akan datang. Yang saya harap usul ini tidak hanya sekedar didengarkan melainkan perlu kiranya direalisasikan secara nyata dan massif.
Usulannya yaitu, kami segenap masyarakat Indonesia menginginkan pemerintah hadir sehadir-hadirnya dalam setiap dinamika kehidupan masyarakat terkhusus disaat-saat masyarakat sedang dalam keadaan susah dan sangat membutuhkan bantuan negara seperti saat ini.
Pemerintah dalam kepemimpinan nya seyogyanya harus bersifat jujur (terbuka) dan berlaku adil kepada semua warga tanpa terkecuali dan mengecualikan.
Pemerintah harus berani mengambil keputusan (tidak ragu-ragu) dan transparan dalam mengimplementasikan kebijakan nya sebagai pelaksana dari amanah konstitusi negara.
Pemerintah bekerjalah dengan orientasi untuk mencapai tujuan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kehendak falsafah negara.
Pemerintah dan wakil rakyat (DPR) di senayan bertanggungjawab lah dalam memerintah sesuai asas demokrasi sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM.
Jangan lagi menyimpang (menyalahi) dan gimik (baca: menipu) rakyat dengan janji-janji yang akhirnya jadi ‘Cumajanji’ atau kebijakan (regulasi) yang simpang siur substansinya serta pengaplikasiannya yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat dan negara secara komprehensif!
Demokrasi, Kebebasan, Keadilan dan Kesejahteraan bukan hanya sekedar slogan politik semata melainkan realitas hidup yang harus diwujudkan dalam sebuah negara yang merdeka seperti NKRI kita tercinta.
Seperti yang dikatakan oleh filsuf dan negarawan pada masa Yunani kuno, Plato:
“Orang baik tidak perlu hukum untuk memberi tahu mereka agar bertindak secara bertanggungjawab, sementara orang jahat akan menemukan jalan di sekitar undang-undang.” (*)
Nuun Walqolami Wamaa Yasthurun
Billahi Fii Sabilil Haq
Fastabiqul Khairat
Tinggalkan Balasan