Kurma di Masa Corona
Oleh : Abbas Langaji
(Dosen IAIN Palopo)
SALAH satu buah yang sejak belasan tahun belakangan ini sudah memasyarakat di kalangan umat Islam, terutama saat bulan puasa adalah kurma, atau biasa disebut korma (phoenix dactylifera).
Penyebaran kurma di Indonesia tidak terlepas dari keyakinan bahwa mengkomsumsi buah tersebut (terutama saat berbuka puasa) adalah Sunnah Nabi SAW.
Buah khas Arab (Timur Tengah) ini manis, bergizi, hingga disebut berulang sampai sekitar 20 kali di dalam al-Qur’an.
Ada banyak nama dan jenisnya, salah satunya dikenal dengan nama “Ajwa” yang biasa disebut sebagai “kurma Nabi.”
Di tanah asalnya Arab (Timur Tengah), buah kurma menjadi makanan yang bisa ditemukan sehari-hari di mana saja, dikomsumsi oleh semua kalangan, namun di Indonesia dalam hari-hari biasa kurma lebih mudah ditemui pada kalangan masyarakat tertentu, seperti masyarakat keturunan Arab, kyai, atau komunitas muslim kota menengah ke atas
Kata “kurma” sesungguhnya bukanlah kata asli Indonesia, melainkan hasil serapan dari kata khu-r-ma. Namun biasa dieja dengan XORMA atau XURMA (Parsi).
Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa berbagai bangsa di Asia, termasuk India; dari India ini diserap ke bahasa Melayu, yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Arab, kurma disebut sesuai dengan kondisinya; bila masih muda disebut dengan BUSR, bila sudah matang tapi masih basah disebut RUTHAB, bila sudah kering disebut TAMAR.
Buah kurma menjadi menu rutin bagi Nabi saw. dan dianjurkan kepada semua sahabat dan umatnya pada saat berbuka puasa.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud, al-Tirmizi, dan Ahmad bin Hanbal disebutkan bahwa Nabi saw. Berbuka dengan beberapa butir kurma basah sebelum shalat, jika tidak ada kurma basah, maka beliau berbuka dengan kurma kering, jika tidak ada kurma kering maka beliau berbuka dengan seteguh air putih.
Hadis tersebut dijadikan dasar oleh ulama untuk menyatakan bahwa kurma disunnahkan pada saat berbuka puasa.
Selain pertimbangan normatif di atas, dorongan untuk mengkonsumsi kurma diperkuat oleh temuan pakar gizi dan pakar kesehatan tentang khasiat buah kurma bagi tubuh dan kesehatan manusia.
Beragam hasil penelitian membuktikan bahwa pilihan berbuka dengan kurma sesungguhnya pilihan cerdas. Selain karena teksturnya yang berserat sehingga mudah diproses di lambung dan diserap oleh usus, juga karena kandungan nutrisinya yang sangat tinggi; sangat cocok bagi perut yang selama beberapa jam tidak terisi.
Kurma diyakini sebagai cemilan yang sempurna untuk mengembalikan kekuatan tubuh manusia setelah seharian berpuasa.
Oleh karena tanaman kurma adalah tanaman khas gurun pasir, haruskah untuk mendapatkan pahala sunnah Nabi tersebut kita membeli barang hasil import?
Masyarakat Indonesia sejak beberapa belas atau bahkan beberapa puluh tahun sudah mengqiyaskan kurma dengan makanan yang manis-manis sebagai pengganti kurma.
Maka jangan heran bila di Indonesia cukup beragam jenis makanan manisan yang diproduksi lebih banyak dan diperdagangkan pada sore hari menjelang buka puasa.
Apa dasar qiyas mengqiyaskan kurma dengan makanan manis?
Imam Muhammad Ali al-Syawkani dalam Nayl al-Awthâr fi Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, bahwa qiyas yang dipergunakan adalah lahn al-khitaab;
Bahwa disyariatkan berbuka puasa dengan kurma karena ia manis. Sesuatu yang manis dapat menguatkan penglihatan (mata) yang lemah karena puasa.
Ini merupakan ‘illat yang paling baik. Adapula yang berpendapat bahwa sesuatu yang manis ini sesuai dengan iman dan melembutkan hati, ‘illat sunnahnya karena manisnya dan dapat memberikan dampak positif; maka hukum ini berlaku untuk semua menu buka puasa yang yang manis.
Terlepas dari kandungan nutrisi buah kurma, ada sisi lain di balik disunnahkannya kurma dalam berpuasa yang patut untuk diperhatikan:
Bahwa dalam teks hadis disebutkan berturut-turut kurma basah, atau kurma kering, atau air putih; apakah dalam air putih ada unsur manisnya?
Sesungguhnya urut-urutan tersebut menunjukkan aspek kesederhanaan; baik aspek jenisnya, maupun porsinya;
Buah kurma sudah menjadi makanan komsumsi sehari-hari, bagi Nabi saw. dan sahabatnya, memperolehnya sangat mudah. Artinya, dalam konteks berbuka puasa dengan kurma, Nabi hendak mengajarkan umatnya untuk berbuka dengan buah atau makanan yang ringan, mudah ditemui, sederhana dan tidak terlalu mahal. Posisi air putih dijadikan alternatif ketika tidak didapati kurma yang bisa menggantikan sebagian khasiatnya, terutama pada aspek manisnya.
Spirit dari sunnah Nabi tersebut dipertahankan, yaitu: (1) berbuka dengan yang manis-manis; (2) berbuka dengan menu sederhana yang sudah akrab dengan lidah dan perut kita, (3) berbuka dengan porsi yang (juga) sederhana;
Buka Bersama
Dalam kaitan dengan berbuka puasa, selain berbuka dengan korma, hal lain yang disunnahkan oleh Nabi SAW adalah berbuka bersama dan berbagi makanan untuk menu buka puasa;
Nabi Muhammad saw mencontohkan, dalam beberapa kesempatan berbuka puasa secara berjamaah, dengan struktur jamaah yang heterogen, dari semua lapisan masyarakat dengan beragam status sosial; semua duduk dalam satu suasana penuh keakraban.
(Terkadang) kenyataan berbeda kita praktikkan; sunnah buka puasa bersama ini di Indonesia kemudian dilembagakan, sehingga (dalam suasana normal) hampir setiap hari kita saksikan acara buka puasa bersama, yang (biasanya) didahului dengan rangkaian seremonial lain, semisal tawshiyah keagamaan.
Buka puasa dibuat sebagai acara ekslusif, hanya dari kalangan tertentu yang selevel atau yang lebih tinggi dari pemilik acara yang diundang;
Katakanlah, bila menu makan malam setelah buka puasa dan shalat magrib adalah kambing; boleh jadi di antara tokoh-tokoh tertentu yang diundang ada orang-orang yang apabila mengkomsumsi kambing spontan berucap “astagfirullah.”
Karena kolesterol dan atau tekanan darahnya akan segera meninggi. Padahal boleh jadi di luar sana banyak saudara kita yang seiman yang apabila diundang atau diberi hidangan kambing, mereka akan berucap “alhamdulillah…”
Kalau toh ada beberapa orang dari kalangan bawah yang dihadirkan, mereka sesungguhnya hadir “tersiksa” penasaran dengan menu yang (bagi mereka) luar biasa, namun dalam keterbatasan menikmati selahapnya karena sadar diri berada bukan di kelasnya; anak-anak yatim biasa dijadikan hanya sebagai pelengkap agar terkesan bahwa pelaksana acara tersebut penyantun terhadap anak2 yatim;
Sunnah berbuka puasa bersama saat ini tidak bisa dilaksanakan, karena bangsa kita sedang dalam masa-masa physical distancing untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19. Walaupun demikian, spirit dari sunnah Nabi tersebut.
Dikontekstualisasikan dengan berbagi makanan kepada sesama (muslim), baik yang dilakukan oleh beberapa orang dan berbagai pihak. Hal tersebut setidaknya merupakan manifestasi bentuk kepedulian sosial, tidak menonjolkan kelas sosial.
Bukankah Nabi saw dalam salah satu hadisnya mengatakan bahwa “Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka ia akan memperoleh pahala sebesar pahala orang berpuasa yang diberinya makan tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.”
Berbuka berjama’ah tidak selalu diartikan berbuka dalam suatu tempat yang sama pada saat yang sama, namun dalam konteks physical distancing ini kita maknai dan wujudkan dalam bentuk berbagi degan mereka yang ketika menerima pemberian kita spontan berucap “alhamdulillah.”
Ketika sebagian saudara kita berada dalam kondisi kehidupan yang serba susah, Tuhan Maha Penyayang memberi kesempatan luas bagi yang mampu untuk berbagi dengan sesama yang sesungguhnya menjadi tambang kebajikan yang memanfaatkannya dengan baik.
Kita patut mengapresiasi saudara-saudara kita (tanpa kecuali), dari berbagai kalangan baik secara personal-individual, maupun institusional-kolektif melakukan kegiatan amal dalam beragam bentuknya, membantu sesama yang terkena dampak langsung pandemic covid-19;
Menutup bagian akhir dari tulisan panjang ini, ada dua ayat al-Qur’an yang patut dicamkan:
(“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.QS. al-Baqarah:264.
“Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menerimanya dan kamu memberikan kepada orang-orang fakir, maka gunakan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan memilihkan kamu dari yang mau bertanya-tanyamu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah: 271).
Bila publikasi berlebihan melalui beragam media yang ada dianggap sebagai bentuk mendemonstrasikan kegiatan berbagi; yang boleh jadi berpotensi menyakiti si penerima karena keseringan melihat dan atau mendengar wajahnya dipublikasikan sebagai penerima sedekah, maka alangkah baiknya kita meminimalisasi publikasi kegiatan caritas tersebut. Allah Maha Melihat, lagi Maha Mengetahui. Wallahu a’lam. (*)
Tinggalkan Balasan