Hukum dalam Islam tentang Suami yang Tidak Memberikan Nafkah kepada Istri dan Anaknya
TEKAPE.co – Saat ini banyak sekali wanita mandiri yang bekerja dan suami menganggur. Lantas bagaimana hal ini jika dilihat dari sudut pandang agama Islam terkait hukum suami tidak memberi nafkah keluarga? Yuk simak ulsan di bawah ini untuk memahaminya.
Pasalnya tujuan yang diharapkan semua pasangan yang sedang menjalin hubungan adalah menikah. Di saat pasangan sudah siap dan yakin untuk melanjutkan hubungan mereka kejenjang berikutnya, pastinya terdapat beragam hal yang harus dipertimbangkan terkait rumah tangganya nanti.
Di pernikahan yang nanti akan dijalani semua pasangan tentunya akan ada hal menyenangkan dan tidak menyenangkan. Tentunya pula akan terjadi beragam masalah yang akan datang.
Semua tergantung pasangan dalam menghadapinya. Ada yang bertahan namun ada juga yang mengakhiri pernikahan dengan perceraian.
Dalam sebuah studi diungkapkan jika pasangan yang menikah dan sudah menjadi suami istri, mereka harus mengatur dan mengelola keuangannya secara bersama-sama. Dengan pengaturanbersama tersebut, tanpa ada kecurigaan atau hal lain yang ditutupi, pastinya hubungan suami istri seperti ini akan cenderrung lebih bahagia, mapan dan sejahtera.
Hal yang menjadi standar ideal dalam membangun rumah tangga sebagai salah satu syarat dalam sebuah pernikahan yaitu pekerjaan suami yang stabil. Pasalnya, pekerjaan suami adalah merupakan nafkah untuk istri dan anaknya.
Maksud pekerjaan stabil di sini adlaah suami harus memiliki pekerjaan setidaknya memiliki penghasilan yang bisa mencukupi semua kebutuhan yang diperlukan keluarganya.
Namun faktanya, hal pemenuhan kebutuhan istri dan anaknya tidak selalu terpenuhi dnegan cukup. Dan tidak sedikit contoh kasus suami tidak menafkahi istri dan anaknya. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya perceraian.
Hukum Suami Tidak Memberi Nafkah
Jika seorang suami tidak memenuhi kewajibannya akan member nafkah untuk istri dan anaknya, maka dalam sudut pandang agama islam hal ini diharamkan dan bisa dikatakan sebagai perbuatan dosa.
Apalagi alasan suami tidak member nafkah tersebut karena rasa malas, maka perbuatan tersebut sangat tercela. Sebagaimana yang dijelsakan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempua.
Oleh karena itu, Allah telah melebihkan sebahagian mereka(laki-laki) atas sebahagian yang lain (permepuan), dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dare harta mereka”.
Seorang perempuan yang belummenikah dengan laki-laki yang bertanggung jawab dare semua hal yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup serta tanggung jawab atas nafkah perempuan tersebut, maka semua perempuan ini dibebankan kepada orang tuanya.
Tetapi ketika seorang perempuan menikah, maka semua tanggung jawab terkait pemenuhan kebutuhan hidup serta tanggung jawab atas nafkah perempuan tersebut semuanya akan berpindah pada suaminya. Di mana sebelumnya merupakan tanggung jawab oranng tuanya.
Hal tersebut mulai dari pemenhuan uang belanja, uaang makan, memberikan pakaian yang layak serta memberikan unag untuk membeli kebutuhan pokok lainnya sesuai dengan kemampuannya.
Karenanya, jika seorang suami tidak bisa memenuhi dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, maka ia termasuk orang tercela dan berdosa. Tetapi hal ini tidak berlaku apabila terjadi karena hal yang benar-benar mendesak, misalnya suami mendapatkan pemutusan hubungan kerja.
Maka sang istri boleh bekerja untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Seorang istri diperbolehkan menggunakan hartanya utnuk membantu kehidupan ekonomi keluarga, dengan catatan ketika sudah dibantu dalam megatasi ancaman ekonomi, suami tidak bermalas-malasan atau tidak melakukan usaha apapun untuk memnuhi kewajibannya.
Hal ini artinya suami tidak menjadikan alasan-alasan darurat untuk tidak memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. (*/dirman)
Tinggalkan Balasan