Tekape.co

Jendela Informasi Kita

OPINI: Narasi Pajak, Pil Pahit Bagi Rakyat

Nurindasari S.T.

Oleh : Nurindasari S.T.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang direncanakan oleh pemerintah diterapkan pada tahu 2025 ini telah memperoleh berbagai penolakan dari seluruh rakyat. Walhasil Sri Mulyani dalam postingannya menyatakan “PPN TIDAK NAIK” dan memaparkan bahwa PPN 12% hanya berlaku bagi barang mewah seperti privat jet, kapal pesiar dan hunian mewah senilai 30 miliyar. (Kompas.com, 1/1/2025)

Namun, pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain membuat beberapa komoditi yang tidak termasuk barang mewah juga berdampak kenaikan harga. Misalnya PPN atas kegiatan membangun dan renovasi rumah,pembelian kendaraan bekas dari penyalurnya, jasa asuransi, pengiriman paket, agen wisata dan perjalanan keagamaan dan lain-lain. Terdampaknya kenaikan PPN atas barang dan jasa tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. (Kompas.id, 3/1/2025)

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun telah blak-blakan mengapa warga harus membayar pajak. Ia membeberkan mengenai dana yang dialokasikan pemerintah dari ABPN untuk sektor pendidikan dalam negeri mencapai 20%. Pungkasnya senilai Rp. 519,8 triliun yang diterima oleh semua anak, semua anak sekolah di daerah untuk memastikan tidak ada anak tertinggal dan bisa memberi kontribusi dalam pembangunan atau memperbaiki masa depannya. (cnbcindonesia.com, 4/1/2025)

Pil Pahit Bagi Rakyat

Inkonsistensi pemerintah dalam perumusan hingga penerapan pajak berbuah pil pahit bagi rakyat. Ketidak jelasan kenaikan pajak ini telah lebih dulu diterima oleh beberapa pihak dan turut memperbaharui harga mengikuti PPN 12% pada semua jenis barang. Hasilnya beberapa harga terlanjur naik dan tidak bisa dikoreksi ketika pemerintah mengumumkan PPN hanya untuk barang mewah. Kenaikan pajak yang katanya hanya berlaku bagi barang mewah ternyata diikuti kenaikan barang dan jasa lain yang tidak masuk dalam kategori barang mewah tersebut.

Pajak merupakan kontribusi wajib bagi setiap warga negara yang sifatnya memaksa dan telah diatur dalam undang-undang. Sistem ekonomi kaptilasime menjadikan pajak sebagai sumber penerimaan utama. Kontribusi pajak dalam APBN adalah 80.32% (BPS,2023) dan naik menjadi 82,4 (BPS, 2024). Jika dibandingkan singapura yang tidak memeiliki SDA sebanyak Indonesia nilainya sangat besar. Artinya pendapatan nonpajak di negeri ini kurang dari 20%.

Sejak perencanaan kenaikan pajak pun menunjukkan bahwa pemerintah tidak berbelas kasih terhadap rakyat. Pemerintah juga seolah berusaha mencuci tangan dengan menggaungkan berbagai program bantuan yang diklaim untuk meringankan hidup rakyat. Negara terus menerus membuat narasi keberpihakannya pada rakyat dan memaksakan penerapan kebijakannya serta terus memalak rakyatnya.

Sejatinya rakyat adalah subjek pelayanan pemerintah. Pemerintah memiliki tugas untuk memenuhi kebutuhan rakyat seluruhnya. Namun, kita bisa melihat berbagai kebijakan di mana rakyatlah yang arus membayar dan membiayai pemerintah. Rakyat yang harus menanggung kebutuhannya juga menanggung kebutuhan Negara. Berbagai kebijakan diterapkan hanya dipoles manis untuk rakyat tapi abai terhadap suara dan tangis penderitaan rakyat. Betapa hal ini menguatkan profil penguasa populis otoriter.

Pajak dalam Syariat Islam

Pos-pos penerimaan negara telah ditetapkan secara terperinci diantaranya anfal, ganimah, fai, dan khumus; kharaj, jizyah; harta kepemilikan umum; harta milik negara; harta usyur; harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara; khumus, harta orang yang tidak memiliki harta waris, harta orang murtad, pajak, dan zakat. Secara keseluruhan terdapat dua belas pos penerimaan negara.

Pajak bukanlah pendapatan utama negara, penerapannya dalam Islam harus legal dan harus diizinkan oleh syariah. Pajak hanya diterapkan secara insidental yaitu jika negara benar-benar tidak memiliki backup keuangan. Jadi pajak tidaklah bersifat abadi, karena jika kas negara telah normal maka pajak tidak dipungut lagi. Sedangkan pendapatan negara dengan sistem islam akan sangat melimpah, hingga kemungkinan dilakukan pungutan pajak didalamnya sangatlah kecil.

Pos harta kepemilikan umum yaitu pengelolaan kekayaan alam atau SDA dikelola sendiri oleh negara, bukan diserahkan pada asing dan swasta. Sehingga keuntungan dari Pengelolaan ini akan kembali kepada negara dan dapat membiayai seluruh aspek untuk masyarakat secara optimal dan kelimpahan. Indonesia sendiri memiliki kekayaan alam yang melimpah dan jumlahnya terbesar di dunia berupa hutan yang luas, gas alam, emas, batu bara, nikel dan masih banyak lagi. Pos inilah yang menjadi pendapatan terbesar untuk APBN.

Sejarawan dan bapak sosiolog Islam Abdurrahman Ibnu khaldun menuturkan “Salah satu tanda sebuah negara akan hancur adalah semakin besar dan beragam jenis pajak yang dipungut kepada rakyatnya”. Sejatinya penerapan aturan yang tidak berlandaskan pedoman Pencipta yaitu Syariat Islam akan membawa kepada nestapa dan kehancuran.

Wallahu’alam bish shawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini