oleh

OPINI: Melirik Perjuangan Perempuan Indonesia Selain Kartini

-Opini-1.4K,000

Oleh: Arifin Zainuddin Laila
Mahasiswa Pasca Administrasi Publik Universitas Nasional Jakarta

Sejak diangkatnya RA Kartini menjadi pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden Sukarno, no 108 tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964, namanya semakin mengundang kontroversi dari masa ke masa.

Bagaimana tidak, pada masa yang kurang lebih sama dengan masa Kartini hidup, bertebaran pahlawan wanita di berbagai propinsi di Indonesia, dengan berbagai keahliannya dan perjuangannya.

Pertanyaan kemudian timbul, kenapa hanya Kartini yang seolah-olah menjadi satu-satunya pahlawan wanita yang paling berjasa di Nusantara? hingga ada hari khusus dan lagu untuk mengenang beliau.

Tiar Anwar Bahtiar pernah menulis Artikel “Mengapa Harus Kartini” yang diterbitkan INSISTS-Republika, edisi 9 April 2009 lalu.

Artikel tersebut memberikan kritik atas penobatan kartini sebagai pahlawan atau pendekar perempuan Indonesia. Bukan hanya Anwar Bahtiar, jauh sebelumnya pada tahun 1970an, disaat kuat-kuatnya pemerintah Orde Baru, guru besar UI, Prof Harsja pernah menggugat masalah ini, Harsja mengkritik pengkultusan RA Kartini sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Sebab RA Kartini seketika mengambil alih lambang emansipasi wanita di Indonesia.

Dari beberapa jejak literasi sejarah, yang penulis sempat baca nama Kartini pertama kali muncul, melalui kumpulan surat-suratnya kemudian di terbitkan oleh abendanon yang menjabat sebagai menteri pendidikan agama dan kerajinan pada masa itu.

Hal ini perlahan menggeser dan menutupi sejarah perjuangan perempuan lainnya seperti Dewi sartika di Bandung 1884-1947 yang menggagas sakola keutamaan istri. Rohana Kudus di Padang 1884-1972, juga melakukan hal yang sama mendirikan kerajinan amal setia, bahkan menjadi jurnalis wanita pertama.

Rohana yang memiliki visi keislaman yang tegas, selalu mengucapkan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki, wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Wanita sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti, dan kesemuanya itu akan terpenuhi jika mempunyai ilmu pengetahuan,”.

Bahkan jika melirik kisah Cut Nyak dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia dan Cupto Fatimah dari Aceh, klaim keterbelakangan kaum wanita di Indonesia pada masa Kartini hidup harus segera di gugurkan. Mereka adalah wanita hebat yg turut berjuang mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Bahkan, jauh sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia kerajaan Aceh sudah memiliki panglima angkatan laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Bagaimana pun, Belanda telah memilih RA Kartini sebagai pahlawan perempuan dan pemerintah Indonesia ikut mengamini hal tersebut.

Penulis tidak menafikkan kiprah perjuangan Kartini, akan tetapi jika berbicara tentang perjuangan dan pendidikan kaum prempuan di Indonesia, selain kartini ada banyak yang jauh lebih hebat dari Kartini.

Sebut saja Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan dari Aceh, sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia juga menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu, dimasa pemerintahannya pun ilmu pengetahuan berkembang pesat.

Selain itu, ada juga nama Siti Aisyah We Tenriolle, wanita ini bukan hanya di kenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan.

Hal ini bisa dilihat dari BF Matthes, orang Belanda ahli sejarah Sulawesi Selatan mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-galigo, yang mencakup lebih dari 7000 halaman folio.

Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh we Tenriolle, pada tahun 1908. Wanita ini bahkan mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama di Tanette.

Bangsa ini memiliki banyak tokoh pejuang perempuan, yang begitu hebat, lalu mengapa harus Kartini yang di sematkan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Apakah karena kedekatan beliau dengan beberapa elite VOC pada masa itu. (*)

Komentar